172 Forum Ilmu Sosial, Vol. 37 No. 2 Desember 2010
ETOS DAN PANDANGAN HIDUP KOMUNITAS NELAYAN BUGIS
DALAM KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI (STUDI KASUS DI KELURAHAN
TONDONGGEU KECAMATAN ABELI KOTA KENDARI
PROVINSI SULAWESI TENGGARA)
La Janu
Jurusan Antropologi FISIP Universitas Haluoleo Kendari
Sulawesi Tenggara
Abstract
This research is aimed to know the concept of “tellutummasarang” and “duatemmalesseng” as a system of culture added in ethos and way of life Buginese fi sherman at Tondonggeu Village chife,
Kendari Town. The function and effect of ethos and that way of life in moving ethos principles and way of life due to ethos social dynamic and cultural moving wich is happen while to day. The data in this study was collected by observation and interview. The design of this study was descriptive qualitative. Tehis study showed a few study. First, to carry out social life, Buginese fi sherman in this area based or ethos and way of life are called “tellutemmasarang” and “duatemmalesseng”. Second, in ethos and way of life are know that natural as integral part from human, so natural structure is refl ected on social structure, social stratification and economy structure. Third, by ethos and way of life, in fulfi llment their social economy needs, Buginese fi sherman have a high work ethos and as if they are never tired. Fourth, the principle of behavior and attitude in social connection integrally and interdependence, it appears has been moved, together with social dynamic process and cultural changing which is happen in modernity era.Key words: Ethos, way of life, social economy
PENDAHULUAN
Upaya penyelenggaraan kehidupan sosial, komunitas pedesaan dan terutama kaum nelayan, didasari oleh etos dan pandangan hidup (ethos and world view) yang merupakan pedoman khusus dalam menjalin hubungan dengan lingkungan alam sekitar (ecological condition), lingkungan sosial (social environment) lingkungan budaya (cultural condition) dan termasuk manusia itu sendiri (self existence) (Geertz dalam Tarimana, 1989). Dengan etos dan pandangan hidup dimaksud, maka mereka tidak melakukan perbuatan yang merusak ekosistem lautan dan lingkungan hidup sekitarnya.
Namun berdasar pada studi mikro terdahulu, ditemukan secara jelas perihal munculnya gejala dan realitas kehidupan yang terpolarisasi antara pimpinan organisasi kerja nelayan (punggawa) dengan anggota penangkapan ikan (sawi) serta anggota masyarakat lain yang hidup di sekitarnya. Dijelaskan bahwa hal ini terjadi, selain karena perbedaan kemampuan mengakses peralatan penangkapan yang jauh berbeda antara punggawa dengan sawi, juga dalam hal pola pembagian hasil penangkapan yang jauh berbeda antara keduanya (Peribadi, 2002, Bauto, 2003).
Penggunaan bom raki tan dalam proses penangkapan ikan, terasa cukup menggetarkan apabila kita berdiri di pesisir pantai kelurahan ini. Karena dari jarak sekitar 200 meter, terdengar rentetan bom rakitan yang dilemparkan atau diledakkan oleh para nelayan. Dengan demikian, besar dugaan bahwa ciri khas komunitas pedesaan yang penuh kearifan sosial dan kearifan lingkungan yang didasari dengan etika moral subsisten, homogenitas, solider dan egaliter, mulai melemah atau menurun seiring dengan degradasi nilai dan norma budaya dewasa ini.
Atas dasar inilah, sehingga penelitian tentang “Etos dan Pandangan hidup Komunitas Nelayan Bugis” dalam konteks kehidupan sosial ekonomi, merupakan pengkajian yang cukup urgen, aktual dan problematik karena dengan pemahaman serta penghayatan generasi komunitas nelayan terhadap etos dan pandangan hidupnya, dapat menjadi solusi alternatif untuk mencegah penggunaan bom rakitan dalam proses penangkapan ikan. Konsep tiga hal yang tidak dapat dipisahkan (Tellutemmasarang) dan dua hal yang tidak mampu dibedakan (Duatemmaleseng) tersebut merupakan etos dan pandang hidup sakral yang melihat Tuhan, manusia dan alam sebagai bagian integral dan interdependen, sehingga apabila merusak alam, adalah berarti merusak dirinya sendiri.
Bertolak dari pandangan-pandangan ahli serta hasil studi terdahulu di atas, maka perihal yang paling mendasar sehubungan dengan penelitian ini, adalah sejauh mana keterkaitan antara sistem nilai budaya dengan etos dan pandangan hidup komunitas nelayan dalam menumbuhkembangkan usaha mata pencaharian. Kemudian, bagaimana prinsip nilai etos dan pandangan hidup tersebut berpengaruh secara sosio-psikologis dalam menentukan pilihan penggunaan teknologi penangkapan ikan, meningkatkan produksi, distribusi barang dan jasa, dan memanfaatkan hasil-hasil usaha yang telah diperoleh serta bagaimana pergeseran atau perubahan prinsip tersebut sehubungan dengan dinamika sosial dan perubahan budaya yang terjadi.
METODE PENELITIAN
Informan dalam penelitian ini dipilih secara purposif yaitu terdiri dari seorang informan kunci untuk memperoleh ifnromasi awal dan 6 orang informan biasa yang terdiri dari para punggawa nelayan, nahkoda operasi penangkapan ikan dan sawi. Hal ini mengacu pada (Spradley, 1997). Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik observasi dan wawancara mendalam yaitu melakukan tanya jawab secara langsung terhadap sejumlah informan dengan menggunakan pedoman wawancara. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perilaku Sosial Ekonomi
Manusia dan masyarakat dalam menyelenggarakan kehidupannya, menunjukkan bahwa mereka memiliki etos dan pandangan hidup yang menjadi pedoman dalam segala aktivitas kehidupannya (Geertz dalam Tarimana, 1989) serta sebagai suatu sistem nilai sosial budaya yang mengakibatkan hal-hal yang baik dan buruk, yang indah dan yang jelek, dan yang benar dan salah (Al Bert, Beartie, Brain, Eliade, Gennep dan Summer dalam Tarimana, 1989).
Sebagaimana komunitas pada umumnya, nelayan Bugis di Kelurahan Tondonggeu, Kecamatan Abeli, Kota Kendari dalam eksistensinya juga memiliki etos dan pandangan hidup. “Tellutemmasarang” (tiga hal yang tidak dapat dipisahkan yakni “pengalataala nabita atana” (Allah SWT sebagai Tuhan, Muhammad SAW sebagai Nabi dan manusia sebagai hamba) dan “duatemmaleseng” (dua hal yang tidak dapat dibedakan) yaitu “atta napuang pengetaala” (Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW) merupakan etos dan pandangan hidup sakral yang melihat Tuhan manusia dan alam sebagai satu kesatuan yang utuh (integral),dan interdependen yang dijadikan standar atau acuan normatif dalam menata kehidupan mereka. Hal mana etos dan pandangan hidup tersebut di dalamnya terkandung nilai aspiratif (positif) yang turut mewarnai setiap pikiran, perasaan dan perilaku dalam seluruh aspek kehidupan baik dalam kehidupan sosial budaya maupun ekonomi.
Komunitas nelayan Bugis memahami bahwa demikian urgen dan substansialnya etos dan pandangan hidup tersebut dalam kehidupan mereka terutama sebagai nelayan, sehingga dirasakan sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan (integral) dengan diri mereka sendiri. Hal ini terjadi karena dalam kenyataannya telah memberi pengaruh yang dahsyat dalam jiwa (psikis) mereka. Secara psikologis, komunitas nelayan Bugis dalam upaya melangsungkan kehidupan ekonominya memiliki motivasi yang kuat dan keberanian yang tinggi dan akhirnya memiliki mobilitas yang tinggi pula. Mobilitas serta keberanian tersebut dapat dilihat pada jarak wilayah operasi yang jauh yaitu seluruh laut Sulawesi, di teluk Kolono, perairan Menui dan Wawonii hanya dengan menggunakan perahu yang berkapasitas 1,5 ton. Upaya tersebut dilakukan tidak terbatas pada musim tertentu, baik pada saat musim teduh maupun pada musim angin kencang.
Etos dan pandangan hidup tersebut, diakui oleh para informan bersumber dari ajaran agama Islam yang diturunkan oleh Allah SWT kepada manusia pilihan-Nya yaitu Muhammad SAW. Nelayan Bugis meyakini bahwa alam beserta isinya berada dalam kekuasaan Sang Khalik (pencipta),
apapun yang terjadi semua atas izin dan ridho-Nya. Keyakinan inilah yang mengkristal dalam psikis mereka sehingga tidak gentar menghadapi berbagai kemungkinan hambatan yang akan muncul kemudian. Rezeki, umur, mati dan hidup semuanya telah diatur oleh Allah SWT, dan hanya kepada-Nyalah manusia bergantung dan meminta pertolongan.
Sesuai hasil pengamatan dan wawancara yang mendalam, ditemukan bahwa selain masih ada konsep-konsep yang masih tetap diwujudkan oleh komunitas nelayan dalam menyelenggarakan kehidupan sosialnya, juga sebagian di antaranya telah mengalami pergeseran nilai seiring dengan dinamika sosial dan perubahan budaya yang terjadi zaman pembangunan nasional. Melalui pendekatan kualitatif dalam konteks studi kasus ditemukan 4 faktor yang mendasari kehidupan nelayan Bugis di Kelurahan Tondonggeu.
Konsepsi dan Sikap Terhadap Alam
Konsepsi kebudayaan masyarakat timur mengenai alam sesuai teori dan konsep-konsep yang digunakan adalah selain terdapat alam nyata (kosmologi dan kosmogoni) juga mempunyai persepsi bahwa di balik alam fisik tersebut, terhampar alam gaib (ecxatologi) yang diperoleh melalui ajaran agama dan keyakinan khas yang dianutnya. Alam bagi mereka merupakan bagian integral dan interdependensi dengan manusia itu sendiri. Karena itu, di samping mereka harus tunduk kepada alam, maka dalam upaya memanfaatkan alam untuk memenuhi berbagai kebutuhannya, senantiasa menjaga keseimbangan dan keselarasan dengan alam.
Pada masa lalu, konsepsi dan persepsi kebudayaan komunitas nelayan di pesisir pantai Kelurahan Tondonggeu, tercermin dalam struktur sosial, pranata sosial dan nilai kebudayaan serta tingkah lakunya seharihari. Hal ini diakui oleh para Punggawa nelayan bahwa semua aktivitas yang hendak dilaksanakan terutama dalam menangkap ikan di pinggir pantai dan di tengah lautan harus didasarkan pada fenomena alam sekitar. Kalau tidak, mereka meyakini bahwa usaha penangkapan ikan tidak akan berlangsung lama dan kelak akan mengalami kesulitan. keadaan ini bisa dilihat pada beberapa hal; (1) dalam upaya pembuatan teknologi penangkapan ikan, kaum nelayan senantiasa mempertimbangkan ketepatan, kesesuaian dan kemanfaatannya. Dalam pembuatan perahu dan alat pancing, harus disesuaikan dengan iklim dan musim yang sedang dihadapi; (2) untuk mengidentifi kasi tempat berkumpulnya ikan, ditandai dengan gejala alam tertentu misalnya, di tempat tersebut banyak terdapat pepohanan yang rimbun, tanamannya subur, dan dijadikan sebagai tempat maksiat (dosa); (3) dalam proses pembuatan alat dan sarana penangkapan hingga pengoperasiannya, sangat ditentukan oleh kondisi alam yang diyakini sebagai waktu yang berisi, berguna, dan bermanfaat. Oleh karena itu, mereka selalu menjalin hubungan dengan hamba Tuhan yang telah diberi wewenang sebagai penguasa angina (Nabi Sulaiman) dan penguasa air termasuk ikan (Nabi Khaidir).
Persepsi dan Sikap Terhadap Masyarakat
Konsep kebudayaan bagi komunitas nelayan Bugis terhadap masyarakat juga sangat terikat dengan struktur alam. Berdasarkan hasil wawancara bebas dan mendalam dengan para informan, ditemukan suatu pemahaman dalam tinjauan teori ekologi kebudayaan Steward bahwa struktur organisasi kerja nelayan yang terdiri atas punggawa bodi (pimpinan usaha), punggawa operasi (nahkoda) dan anggota penangkapan (sawi), merupakan refleksi dari stratifikasi sosial komunitas nelayan yang terdiri atas Petta, Andi, dan strata sebagai masyarakat umum.
Hal ini dimaksudkan bahwa pada awalnya mereka yang betindak sebagai punggawa bodi atau pimpinan usaha dan nahkoda perahu adalah berasal dari kaum bangsawan, sedangkan yang bertindak sebagai sawi adalah berasal dari kalangan rakyat biasa. Stratifi kasi sosial seperti ini didasari oleh kemampuan dan pengetahuan yang disebut oleh Geertz “Local Knowledge”.
Upaya penangkapan ikan dengan segala ancaman yang menghadang, harus dinahkodai oleh seorang yang memiliki pengetahuan dan kemampuan gaib (sakti) dari kalangan bangsawan. Jika tidak, dipastikan mereka akan ditimpa berbagai bencana atau malapetaka di lautan. Sebaliknya, sebagian besar masyarakat yang nota-bene rakyat biasa (tidak memiliki kesaktian tertentu) tidak berani melakukan pelayaran dengan mengarungi lautan bebas kecuali hanya menjadi pengikut (sawi) di bawah kepemimpinan seorang juragang yang didolakannya. Paling tidak, bagi rakyat biasa yang tidak memiliki pengetahuan khusus hanya menangkap ikan pada kejauhan 1 mil dari garis pantai. Hasil tangkapannya di samping hanya dikonsumsi internal keluarganya, juga dijual kepada para punggawa yang menguasai arena pemasaran ikan.
Sehubungan dengan dinamika sosial dan perubahan budaya yang terjadi saat ini, perihal status sosial sudah tidak kental dan murni berlaku karenanya seorang yang selama ini sebagai sawi telah mempelajari pengetahuan-pengetahuan khusus seperti selama ini dipraktekkan oleh para juragan terdahulu sehingga berhasil meningkatkan status sosialnya menjadi seorang punggawa nelayan.
Konsepsi dan Sikap terhadap Dirinya Sendiri
Manusia sebagai alam kecil (mikrokosmos) yang merupakan representasi dari alam besar (makrokosmos), adalah menjadi ajaran khas yang diwarisi secara turun-temurun bagi komunitas nelayan. Hal ini dibuktikan dengan hal menjalin hubungan dengan alam sekitar (alam nyata dan alam gaib) serta dalam hubungannya sesama manusia, baik dengan sesama etnisnya maupun dengan etnis lain yang hidup atau bertempat tinggal di sekitarnya.
Hubungan dengan alam sekitar, terutama dengan alam gaib sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, ditunjukkan dalam hal mengantisipasi berbagai tantangan alam dengan segala konsekuensi yang akan ditimbulkannya. Para informan menjelaskan bahwa manusia terdiri dari empat unsur, yakni tanah, air, angin, dan api sebagaimana yang terdapat dalam alam besar (bumi). Oleh karena itu, jika angin bertiup kencang, cukup diredakan dengan mengatur keluar-masuknya nafas dalam diri manusia. Demikian pula, air atau ombak yang besar dapat dilunakkan dengan menfungsikan mutiara air yang ada dalam tubuh manusia.
Dengan demikian konsep kebudayaan nelayan Bugis terhadap dirinya sendiri merupakan suatu universum simbolik yang tertuang dalam alam realitas dan alam eskatologis. Atas dasar itulah nelayan Bugis meyaknini bahwa sepanjang hubungan dengan alam sekitar tetap berlangsung sesuai dengan etos dan pandangan hidupnya, maka tidak ada satupun bencana malapetaka yang menimpanya. Sebaliknya, apabila mereka melanggar koridor nilai budaya dan keyakinan yang dianutnya, praktis alam akan menjatuhkan sanksi kepadanya. Dengan perkataan lain, pengertian gaib
yang mengandung kesaktian itu, tidak dapat berfungsi dengan baik.
Konsepsi dan Sikap terhadap Waktu
Persepsi nelayan Bugis mengenai waktu masa kini dan masa depan tampak tidak melupakan masa lalu. Secara umum terlihat bahwa nelayan Bugis di Kelurahan Tondonggeu belum memprogramkan masa depan yang jelas. Mereka hanya memfokuskan pikiran dan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya hari ini serta senantiasa berpedoman dengan pengetahuan dan pengalaman masa lalu. Mereka dimanjakan oleh kondisi alam yang serba tersedia. Sekali mereka turun melaut, hasilnya sudah dapat memenuhi kebutuhan keluarganya untuk beberapa saat. Etika subsistem tampak dalam pola hidup yang serba magiko-religius, sikap serba pantang, dan sikap percaya pada alam gaib. Di samping itu, juga tidak suka mengungguli orang lain, suka memuji juragang yang diidolakan dan bahkan terlihat mental yang cenderung menerabas.
Meskipun secara umum nelayan Bugis khususnya di Kelurahan ini nampak masih menerapkan sistem konsumsi konsumtif (subsistem) dan cenderung tidak memprogramkan masa depannya dengan baik, namun sebagian kecil sudah meninggalkannya terutama seiring dengan terjadinya dinamika sosial budaya masyarakat serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini.
Persepsi mereka akan waktu terlihat dalam usaha mengembangkan aktivitas mereka, mulai dari membuat rumah, membeli perahu, turun melaut, dan menjual hasil tangkapannya, senantiasa dihubungkan dengan waktu-waktu yang baik agar terhindar dari bencana. Mereka tidak beraktivitas pada waktu-waktu yang dianggap buruk, celaka dan sial.
Dinamika Sosial dan Perilaku Ekonomi
Etos dan pandangan hidup nelayan yang demikian humanis dan harmonis sebagai sistem nilai budayanya yang memiliki potensi kapasitas adaptif terhadap alam, solidaritas mekanik terhadap sesama dan pola hidup gemeinschaff yang penuh kemanusiaan, kini telah mengalami perubahan dan pergeseran terutama dalam zaman pembangunan dewasa ini yang sarat dengan konsekuensi logis dan dampak yang ditimbulkannya.
Orientasi nilai budaya yang pada masa lalu cenderung menggantungkan diri pada nasib, tunduk pada kekuatan alam, berkarya dalam memenuhi nafkah hidup dengan sikap mental konsumtif dan kurang menghargai hasil karya orang lain, tidak mengutamakan kualitas pekerjaan, orientasi vertikal sebagai gambaran sikap mental yang kurang percaya diri, melempar tanggung jawab ke atas dan tidak suka mengungguli orang lain, telah mengalami perubahan azas kebudayaan serta tingkat pengaruhnya terhadap komunitas nelayan pada saat ini.
Pertama, kalau di masa lalu usaha penangkapan ikan didasari dengan etos dan pandangan yang perlu kearifan sosial dan ekologis, penggunaan peralatan penangkapan yang sederhana dan tepat guna serta sesuai dengan kondisi alam, tingkat produksi yang minim sekedar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, hasil penangkapan yang dikategorikan untuk pertukaran dengan bahan pangan lain serta pemanfaatan hasil yang bersifat temporer. Kini, hampir semuanya sudah berubah, kecuali struktur sosial tradisional yang tampak masih tertahan, meskipun sedikit telah mengalami pergeseran. Kenyataan empirik di lapangan membuktikan bahwa nelayan yang beroperasi di pantai Kecamatan Abeli tidak lagi didasari sepenuhnya dengan etos dan pandangan hidupnya yang penuh kearifan sosial serta kearifan ekologis. Karena dalam proses penangkapan ikan, mereka telah menggunakan bom rakitan sebagai alat penangkapan ikan yang dianggap praktis untuk memperoleh ikan yang lumayan banyaknya. Selain itu, juga dapat disebutkan bahwa keyakinan nelayan yang menganggap alam sebagai bagian integral dari dirinya (alam mikro) yang merupakan representasi dari alam besar (alam makro), sudah mengalami pergeseran secara besar-besaran. Meskipun merusak lingkungan alam yang
berarti merusak diri sendiri (self existence), telah menjadi sebuah azas kebudayaan yang sekedar menjadi mutiara hidup orang-orang terdahulu.
Kedua, kalau di masa lalu hakikatnya hanya semata-mata untuk memenuhi kebutuhan sesaat (temporer) dan tidak suka mengungguli karya orang lain, maka pada saat ini mereka telah berkarya dengan motivasi produktif dan ekonomi yang cukup tinggi, sehingga segala cara yang dianggap praktis untuk memperoleh hasil yang melimpah, harus dipergunakan semaksimal mungkin.
Ketiga, kalau di masa lampau persepsi nelayan Bugis terhadap hubungan sosial antara manusia didasari oleh hubungan vertikal dalam kerangka stratifi kasi sosial dan pengetahuan gaib yang harus dimiliki oleh kaum bangsawan, maka pada saat ini perkara tersebut sudah tidak berlaku mutlak lagi atau telah pudar, sudah tidak ada lagi orang yang murni sebagai golongan peta atau judi, sehingga semua orang sudah merasa sederajat.
Fenomena Stratifi kasi dan Polarisasi
Perihal stratifikasi dan polarisasi, tampak terjadi perdebatan yang cukup santer oleh para ahli sosiologi dan antropologi, terutama tentang perubahan masyarakat pedesaan di Jawa. Akibat dari revolusi hijau yang mulai digencarkan pada tahun 1970-an, maka para ahli terbagi ke dalam dua pandangan. Di satu sisi ditekankan bahwa persebaran teknologi pertanian moderen ke daerah pedesaan menyebabkan bertambahnya jumlah buru tani “tak bertanah”, sehingga tercipta “polarisasi”. Pada sisi lain disebutkan bahwa persebaran teknologi dimaksud telah menghasilkan pemerataan ekonomi, sehingga tidak menimbulkan polarisasi, melainkan pelipatgandaan lapisan petani dalam konteks stratifikasi.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kedua pandangan tersebut nampak terjadi di tengah komunitas nelayan Bugis di Kelurahan Tondonggeu. Namun beberapa segi tertentu mengalami modifikasi dengan bebragai dampak yang ditimbulkan.
Stratifikasi
Tampak dalam pengamatan dan wawanca ra yang berhasil penulis kembangkan, menunjukkan bahwa para Punggawa nelayan Bugis di Kelurahan Tondonggeu adalah mereka yang kategorikan sebagai tokoh masyarakat (orang yang dituakan). Namun dalam hal ini tidak ada data yang pasti ditentukan bahwa sesungguhnya para Punggawa yang dituakan itu, adalah berasal dari keturunan bangsawan. Akan tetapi, para informan mengakui bahwa orang yang bergelar “Juragang” adalah orang yang memiliki pengetahuan gaib dan kesaktian tersendiri. Karena kegiatan berlayar dan menangkap ikan selalu diperhadapkan dengan tantangan dan ancaman yang membahayakan. Pandangan tersebut didasari oleh dua alasan, yakni; (1) pengetahuan yang bersifat metafisik, yang secara khusus diturunkan kepada anak-kemenakan beserta cucu dan cicinya. Kecuali dalam zaman pembangunn dewasa ini, telah terjadi atau terbuka peluang berlangsungnya komunikasi dan interkasi sosial yang transparan. Akan tetapi, di masa lalu hal seperti ini merupakan rahasia keluarga yang dianggap sakral; (2) usaha penangkapan ikan secara tradisional tidak mampu mengembangkan kesejahteraan sosial ekonomi. Kecuali, ada usaha-usaha lain yang bersifat mendukung seperti menjadi seorang juragan yang berlayar ke mana-mana. Dengan demikian, hanya seorang juraganglah
yang lebih memungkinkan untuk memperoleh investasi yang kelak bisa digunakan untuk mengembangkan usaha-usaha lain seperti penciptaan organisasi nelayan.
Berdasarkan fenomena emperik, bahwa implikasi stratifi kasi sosial tradisional nelayan Bugis, masih terkandung sebagian besar dalam struktur organisasi kerja nelayan di Kelurahan ini. Namun tidak sepenuhnya demikian, sebab sudah ada Punggawa nelayan saat ini, yang sebelumnya bertindak sebagai pengikut (Sawi) dalam suatu organisasi usaha penangkapan ikan setempat, saat ini telah berubah atau mengalami peningkatan status dan peranan karena kemampuan dan kapasitas adaptif, etos kerja dan alat tangkap yang dimiliki.
Polarisasi
Di tengah pesatnya pertumbuhan sosial ekonomi komunitas nelayan di Kelurahan Tondonggeu tersebut, sepintas terlihat bahwa sesungguhnya tidak ada gejala polarisasi dalam kehidupan masyarakat nelayan. Akan tetapi, melalui pengamatan mendalam dan wawancara bebas yang secara khusus ditunjukkan kepada para Sawi, dirasakan adanya unsur polarisasi antara pihak punggawa dan pihak anggota penangkap ikan.
Data tentang kesenjangan antara golongan punggawa dan anak buahnya, diperinci berdasarkan atas sistem dan pola pembagian hasil antara bagian Punggawa (30%), Bodi (30%), Kompresor (20%)
dan bahan perbekalan (20%) serta sawi yang memperoleh bagian sebagai sisa dari pembagian distribusi terdahulu. Tentu saja pihak punggawa akan memperoleh pembagian hasil dari 4 komponen yang menjadi hak miliknya sementara pihak sawi, kalau tidak ingin dikatakan semakin miskin, paling tidak, pendapatan mereka tidak berkembang atau meningkat.
Dengan demikian, polarisasi kehidupan sosial ekonomi nelayan tampak dalam struktur punggawa yang “The Have” dan sawi dalam kategori “The Have not” atau miskin. Gejala polarisasi ini diduga disebabkan oleh persebaran unsur teknologi atau peralatan penangkapan ikan yang tidak merata. Dalam konteks ini komunitas nelayan Bugis, bukan ketidakmerataan bantuan teknologi penangkapan dari pemerintah yang menjadi persoalan, akan tetapi kemampuan yang tidak merata dalam membeli atau memiliki sumber bahan peledak yang akan dirakit sebagai alat menangkap ikan.
SIMPULAN
Berdasarkan pada uraian terdahulu, dapat disimpulkan bahwa (1) Dalam upaya menyelenggarakan serta melangsungkan kehidupan sosial ekonominya, nelayan di pesisir pantai Kelurahan Tondonggeu Kecamatan Abeli didasari oleh etos dan pandangan hidup (ethos and world view) sebagaimana yang dimaksud Geertz. (2) Selain nelayan melihat alam sebagai bagian integral dari manusia, juga sekaligus stratifi kasi sosial dan struktur ekonominya merupakan refleksi dari struktur alam, sehingga aktivitas yang dikembangkan, sangat dipengaruhi oleh kondisi alam, iklim dan struktur alam itu sendiri. (3) Pola hubungan sosial ekonomi mulai terjadi perubahan seiring dengan,perkembangan zaman. Misalnya, ditentukan 3 (tiga) orang punggawa nelayan yang sebelumnya bertindak sebagai sawi. Demikian pula berbagai aktivitas yang dikembangkan, sudah didominasi oleh nilai ekonomi, sehingga nilai komunitas pedesaan sejenis solidaritas mekanik, status kontrak dan pola hidup gemeinschaft, tampak mulai bergeser.
DAFTAR RUJUKAN
0 komentar:
Posting Komentar