Forum Ilmu Sosial, Vol. 37 No. 2 Desember 2010 127
KONFLIK DAN INTEGRASI MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG EMAS
DI PAPUA, DALAM KAJIAN ANTROPOLOGI-POLITIK
Nugroho Trisnu Brata
Jurusan Sosiologi & Antropologi FIS UNNES
KONFLIK DAN INTEGRASI MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG EMAS
DI PAPUA, DALAM KAJIAN ANTROPOLOGI-POLITIK
Nugroho Trisnu Brata
Jurusan Sosiologi & Antropologi FIS UNNES
Abstract
natural resources. Issues raised in this study is how social confl ict and social integration that occurred in the area around the gold mine of PT Freeport Indonesia. The purpose of this study is to inventory the cases that occurred among local communities, migrants and companies in the Mimika district. The analysis used by Max Gluxman theory about the structure of fragmentation. Results showed that social cohesion is actually the ideal condition, if the equilibrium appears then it is only temporary. Various external and internal confl icts that arise as result ketidakabadian equilibrium. Kamoro community united in opposition to immigrants LEMASKO, PT Freeport and PT Jayanti. The means adopted was to protest, interception and hostage to the interests of these two companies’ entrants.
Key words: Confl ict, integration, natural resources, fragmentation structure
PENDAHULUAN
Istilah hak ulayat (hak adat) adalah istilah dari UUPA (1960) untuk menyebut suatu hak persekutuan atas tanah, sedangkan menurut Djojodiguno (1961), hak ulayat sama dengan hak purba, dan menurut Soepomo (1967) hak ulayat adalah hak pertuanan. Bagi masyarakat awam, tanah ulayat pengertiannya cenderung praktis sesuai dengan fungsinya, yaitu merupakan suatu bentang alam yang di dalamnya berlaku hak ulayat suatu masyarakat. Hak ulayat merupakan hak yang dipunyai oleh suatu suku (clan/gens/stam/subsuku) atau serikat-serikat desa (doperbond) untuk menguasai tanah dan seisinya di dalam lingkungan wilayahnya. Dalam pelaksanaannya hak ulayat tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara (Sudarman, dkk, 2001). Hak ulayat yang dikaji di sini adalah hak ulayat Suku Kamoro.
Suku Kamoro yang wilayah ekologinya adalah dataran rendah dan pantai, masyarakatnya secara tradisi sangat tergantung pada sumber bahan makanan yang ada di sekitarnya. Bahan makanan itu adalah ikan, karaka (kepiting), siput, tambelo (ulat sagu), dan udang yang terdapat di pantai dan di sungai-sungai. Bahan makanan lain adalah sagu yang dipangkur (ditebang, dibelah, lalu digerus) dari pohon-pohon sagu yang tumbuh di daerah rawa-rawa.
Perubahan sosial terjadi di wilayah tanah ulayat suku Kamoro yaitu di Irian Jaya atau Papua bagian selatan sejak kedatangan perusahaan tambang emas dan tembaga PT Freeport Indonesia (PT FI) pada sekitar tahun 1968. Di kemudian hari dampak dari operasi pengolahan tambang emas dan tembaga itu membuat masyarakat Suku Kamoro menjadi resah berkepanjangan. Bagaimana masyarakat tidak resah? Kelangsungan hidup masyarakat yang cukup sejahtera (menurut mereka), karena kalau mau makan tinggal mengambil bahan makanan di dusun sagu (hutan homogen pohon-pohon sagu) atau ke sungai untuk menangkap ikan. Hal tersebut sekarang sudah berubah. Dusun Sagu sebagian besar telah rusak karena tergenang aliran limbah tailing, begitu juga ikan-ikan di sungai juga mati karena tailing. Tailing adalah limbah yang berupa pasir lembut bercampur zat kimia dari proses produksi emas PT Freeport yang dibuang di Sungai Ajkwa (baca Ayu’a) yang berada di dalam tanah ulayat Suku Kamoro.
Dusun sagu sebagai lahan untuk mendapatkan bahan makanan pokok sekarang ini tersisa relatif sedikit, sehingga masyarakat harus pandai-pandai memanfaatkan atau mengeksploitasi sisa lahan sagu ini. Pada perkembangan waktu selanjutnya juga datang perusahaan HPH (Hak Pengelolaan Hutan) PT Jayanti yang melakukan penebangan terhadap hutan primer di dalam tanah ulayat Suku Kamoro. Pohon-pohon besar ditebang dengan teknologi modern seperti chain saw, buldoser, dan truk tronton. Hutan lebat kemudian berubah cepat menjadi gundul, walau sebagian lahan kemudian tumbuh tanaman lagi dan menjadi hutan sekunder.
Dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) masyarakat Suku Kamoro sebenarnya telah memiliki organisasi sosial bernama taparu. Klen menurut bahasa Kamoro dikenal dengan istilah taparu. Taparu adalah kelompok-kelompok kekerabatan tertentu yang hidup dalam kebudayaan masyarakat Kamoro di dalam satu kesatuan sosial, baik secara vertikal maupun horisontal. Taparu mengandung unsur genealogis teritorial, yang dibentuk dari keturunan yang sama atau mereka yang menempati suatu tempat tertentu, dan atau sebagai pendiri kampung. Dalam perkembangan terakhir
taparu-taparu ini telah tumbuh dengan rasa persaudaraan (solidaritas) yang erat, dalam usaha mempertahankan kehidupan. Juga dalam mengakses sumber daya alam, dengan sesama manusia, dan dalam penanganan konflik-konflik yang timbul di lingkungan masyarakat Kamoro.
Taparu adalah ikatan keluarga yang bergabung dengan tujuan; untuk mendapatkan rasa aman, sebagai basis pengelolaan sumber daya alam dan akses ekonomi, menghindari adanya kecemburuan sosial, dan jaminan kesejahteraan sosial. Akan tetapi penekanan fungsi taparu adalah sebagai basis pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
Permasalahan yang diangkat dalam kajian ini adalah bagaimana konflik sosial dan integrasi sosial bisa terjadi karena adanya perbedaan kepentingan atas sumber daya alam di sekitar tambang emas PT Freeport Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui, memahami, dan menjelaskan secara ilmiah kasus-kasus konflik sosial dan integrasi sosial di antara masyarakat lokal, para pendatang, maupun perusahaan yang beroperasi di wilayah Kabupaten Mimika.
METODE PENELITIAN
Penelitian yang memfokuskan kajian pada bidang sosial budaya ini di dalam proses pengumpulan data (data collecting) menggunakan metode penelitian kualitatif. Data yang tercakup di dalam bidang sosial budaya antara lain kehidupan sosial budaya, fungsi tempat tradisional, tipe pengelolaan tempat tradisional, dan pranata lokal. Karena penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, maka fokus pengumpulan data adalah pada kualitas data, bukan kuantitas data seperti pada metode penelitian kuantitatif. Teknik pengambilan data sesuai dengan kaidah-kaidah dalam penelitian kualitatif yaitu melalui; observasi (observation), wawancara mendalam (depth interview), dan pengamatan secara terlibat (participation observation). Lokasi penelitian ini berada di daerah tanah ulayat Suku Kamoro yang berada di dalam wilayah Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Lama penelitian sekitar satu bulan di lapangan. Penulis melakukan penelitian ini bersama dengan tim peneliti lintas disiplin ilmu dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Setelah data berhasil dikumpulkan maka secara konsisten dilakukan analisis data (data analyzing) sesuai kaidah-kaidah di dalam penelitian kualitatif. Sebenarnya analisis juga telah dilakukan sejak peneliti masih berada di lapangan sehingga format penelitian menjadi fleksibel sesuai kondisi masyarakat.
Metode analisis data secara kualitatif dilakukan dengan memanfaatkan salah satu varian dari teori fungsionalismestruktural, yaitu teori struktur fragmentasi yang diciptakan oleh antropolog Inggris, Max Gluckman. Teori fungsionalismestruktural sendiri diciptakan oleh A. Radclife Brown, seorang ahli antropologi Inggris yang juga pendahulu dari Gluckman.
A. Radclife Brown tidak mau disebut sebagai penganut teori fungsionalisme aliran Malinowski (Bronislaw Malinowski juga seorang antropolog dari Inggris). Pemikiran Radclife Brown justru sangat dipengaruhi oleh teori strukturalisme aliran Belanda. Brown lebih senang disebut sebagai pencipta fungsionalisme-struktural di dalam dunia antropologi. Fungsionalisme-struktural ala Radclife Brown juga sering dianggap sebagai strukturalisme aliran Inggris.
Di dalam penjelasan mengenai teori struktur fragmentasi maka penulis berpijak pada teorinya Max Gluckman. Struktur dalam hal ini mengacu pada pengertian hubungan antar bagian yang relatif konstan (establised). Struktur sosial, seperti yang diungkapkan oleh R. Brown, dapat dipahami sebagai pengaturan kontinyu atas orang-orang dalam hubungan yang ditentukan atau dikendalikan oleh institusi, yaitu norma atau pola perilaku yang dibenarkan secara sosial (Kaplan & Manners, 2000; 139). Fragmentasi memiliki kesamaan arti dengan segmentasi yang artinya kurang lebih sama yaitu fenomena terpecahnya suatu entitas menjadi bagian-bagian atau serpihanserpihan atau satuan yang lebih kecil (John M.Echols & Hasan Shadily, 1975).
Max Gluckman dalam salah satu bukunya yaitu African Political System membahas tentang masyarakat Zulu di Afrika. Dalam tulisan tersebut dia membahas tentang oposisi segmenter yang merupakan fokus penting dalam teori aliran Oxford, tetapi ia juga memperkenalkan bentuk-bentuk lain dari oposisi dan konfl ik. Dalam karyanya African Political System, Gluckman menguraikan dua
hal pada masyarakat Zulu. Dia berpendapat bahwa masyarakat Zulu di Afrika Selatan mempunyai kesetiaan yang ambigu (mendua), yaitu kesetiaan kepada Raja Zulu dan kepada pemerintahan Apartheid yang rasial (Kuper, 1991:167). Menurut Gluckman, dalam kajian konflik, norma-norma atau pranata sosial sering bersifat ambigu (mendua), sehingga sering dimanipulasi atau dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang berkonflik. Tidak jarang terjadi benturan di antara pihak-pihak yang berbeda kepentingan. Jika ada individu yang berkonflik, maka ia akan mewakili atau merepresentasikan kelompoknya.
Di dalam konfl ik internal masyarakat Zulu, maka pihak-pihak yang berkonflik akan tersegmentasi atau terfragmentasi menjadi satuan-satuan dalam bagian masyarakat yang saling berlawanan atau beroposisi. Dalam hal ini kemudian muncul oposisi segmentasi atau oposisi fragmentasi. Dari entitas Zulu yang makro kemudian terfragmentasi atau tersegmentasi menjadi entitas-entitas kecil yang saling beroposisi. Dengan adanya konflik antar bagian masyarakat maka yang namanya equilibrium (kepaduan sosial) tidak terjadi sepanjang masa. Dengan kalimat lain bahwa equilibrium itu tidak abadi dan terjadi hanya pada masa-masa tertentu. Dalam kondisi konflik sosial ini, maka integrasi sosial akan muncul atau terwujud melalui proses penyeimbangan oposisi segmenter. Interesinteres yang terjadi adalah mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang ada, bukannya meleburkan kepentingan-kepentingan yang saling berlawanan. Dari paparan teori itu maka kemudian diaplikasikan untuk menganalisis suku Kamoro.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tanah Ulayat dan Taparu
Masyarakat Kamoro termasuk masyarakat yang sering berpindah-pindah tempat tinggal secara berkelompok. Akan tetapi perpindahan tempat tinggal itu masih berada di dalam wilayah tanah ulayat sub-suku masingmasing. Di dalam Area Kontrak Karya II PT Freeport Indonesia berdiam 8 (delapan)
sub-suku Kamoro di tanah ulayat masingmasing. Ke delapan sub-suku itu adalah; subsuku Nawaripi, Tipuka, Mwapi, Kaugapu, Hiripau, Iwaka, Fanamo, dan Omawita. Masing-masing sub-suku terbagi ke dalam taparu-taparu. Pada umumnya tidak mengenal tempat tinggal menetap dengan rumah yang permanen. Rumah mereka bersifat sementara dan darurat. Kerangka rumah terbuat dari kayu mangi-mangi (pohon bakau) dan atap dari daun operapo’a (nipah). Rumah itu mereka sebut bivak. Mungkin saja tujuan dari berpindah-pindah tempat tinggal itu adalah untuk mengontrol wilayah tanah ulayat mereka masing-masing, sehingga tidak ada sub-suku lain atau bahkan orang lain dari luar Suku Kamoro yang menduduki tanah ulayat mereka.
Dalam hubungannya dengan teori fragmentasi di muka, terlihat bahwa dengan mengatasnamakan kepemilikan tanah ulayat maka entitas-entitas yang merupakan bagian dari masyarakat Kamoro ini harus mengontrol tanah ulayatnya. Entitas masyarakat ini biasa disebut sebagai taparu. Seperti telah disebutkan di bagian depan bahwa taparu menjadi basis sosial dalam pemanfaatan sumber daya alam. Suatu taparu terkondisikan untuk beroposisi terhadap taparu yang lain. Hal ini berpijak pada kecurigaan bahwa taparu lain bisa menyusup ke tanah ulayat atau ke sungai yang menjadi milik taparu lain. Menyusup atau masuk ini selalu identik dengan mencuri yaitu mencuri sagu, kayu, atau ikan.
Tanah, sungai, dan sagu secara tradisi merupakan faktor penting sebagai pusat segala aktifitas ekonomi, sosial, dan religi bagi orang Kamoro. Penguasaan dan hak-hak atas tanah dan sungai serta dusun sagu sangat ditentukan oleh prinsip-prinsip kekerabatan. Maka pada masyarakat Kamoro terdapat penonjolan penguasaan dan pewarisan hak-hak ulayat berdasarkan prinsip-prinsip genealogis clan (taparu). Nama-nama taparu pada suku Kamoro antara lain; Muaowe, Nayarepi, Amayeripi, Matuaowe, Feri Iwaowe, Awora waowe, Firau Putawe, Tumuamirimo, dan Irawaowe.
Taparu-taparu tersebut memiliki hak penguasaan dan pemilikan masing-masing atas tanah-tanah ulayat dan sungai-sungai. Pada kehidupan suku Kamoro, kepemilikan terhadap sungai sifatnya closed access, di mana suatu sungai atau sepotong sungai bisa dimiliki oleh suatu sub-suku. Sub-suku lain atau orang asing tidak boleh melewati sungai tersebut dan tidak boleh menangkap ikan,
kecuali mendapat ijin dari sub-suku yang memilikinya. Fenomena itu berbeda dengan di Kalimantan, Jawa, atau di tempat lain. Jadi kepemilikan atas sungai mirip dengan kepemilikan atas tanah ulayat. Masyarakat Kamoro memiliki aturan-aturan tertentu (pranata lokal) yang berlaku secara semi otonom.
Dalam fenomena taparu ini, terlihat bahwa masyarakat Kamoro ter-fragmentasi ke dalam banyak sekali taparu. Sebelum diperkenalkannya sistem pemerintahan kampung oleh pemerintah kolonial Belanda dan kemudian sistem pemerintahan desa oleh pemerintah Republik Indonesia, maka taparu-taparu itu memiliki komplek pemukiman sendiri-sendiri di tanah ulayat masing-masing.
Kompleks pemukiman itu tidak permanen. Masing-masing taparu berpindah-pindah tempat pemukiman tetapi masih di dalam wilayah tanah ulayat masing-masing yang sangat luas. Hal ini bertujuan untuk mengontrol tanah ulayatnya, dan fenomena ini sebenarnya adalah ketaatan masyarakat pada pranata lokal Suku Kamoro. Akan tetapi ketaatan itu menjadi ambigu, di mana masyarakat pada saat yang sama juga taat pada pemerintah kolonial Belanda yang menggabungkan beberapa taparu ke dalam satu komplek pemukiman dan suatu sistem pemerintahan kampung. Setalah itu, masyarakat juga taat kepada pemerintah RI yang memperkenalkan sistem pemerintahan desa.
Walaupun berada di dalam satu kampung atau satu desa, ada juga taparu-taparu yang saling beroposisi karena pelanggaran tanah ulayat atau karena kecurigaan terhadap taparu lain. Misalnya saja permusuhan di dalam Desa Nayaro antara taparu Muaowe-Matuaowe melawan taparu Tumuamirimo-Irawaowe. Kedua kelompok taparu saling beroposisi karena sengketa batas tanah ulayat yang kebetulan letaknya saling bersebelahan. Mereka saling mengklaim sebagai pemilik sebidang tanah antara Sungai Munapea sampai Sungai Mofopa.
Sikap oposisi juga terjadi di antara Desa Fanamo (dihuni sub-suku Fanamo) dan Desa Omawita (dihuni sub-suku Omawita) yang saling berdekatan dan sama-sama berada di pinggir Sungai Minajerwi. Pada suatu saat penulis dan teman-teman peneliti dari UGM diantar dengan perahu oleh warga Fanamo akan menyusuri Sungai Minajerwi. Ternyata tim peneliti dihadang oleh masyarakat Omawita dengan bersenjata panah. Tim peneliti dilarang melewati Sungai Minajerwi karena saat itu perahu-perahu tim peneliti sudah melewati daerah sengketa kepemilikan sungai di antara Desa Fanamo dengan Desa Omawita. Akhirnya tim peneliti berbalik arah dan kembali ke Desa Fanamo.
Konsep kepemilikan secara tradisional terhadap tanah dan sungai seperti dipaparkan di muka akan menjadi rumit jika dihadapkan dengan konsep pendatang dan penduduk asli. Dalam masyarakat Indonesia kategori penduduk asli dan pendatang merupakan kategori yang umum digunakan untuk menentukan sah tidaknya seseorang atau kelompok menempati atau menguasai posisi tertentu dalam struktur sosial (politik) yang ada atau menguasai sumber daya yang ada. Penduduk asli biasanya dianggap lebih sah, lebih berhak, lebih pantas untuk menempati posisi penting di dalam struktur sosial setempat (Ahimsa-Putra, 2001; 6).
Kategori penduduk asli di dalam bahasa Kamoro disebut dengan istilah tuan tanah. Pada dasarnya tuan tanah ini (termasuk keturunannya) diyakini sebagai orang-orang yang datang pertama kali ke suatu daerah dan kemudian memulai kehidupan baru di daerah itu. Jadi tuan tanah dipandang sebagai orang-orang “yang menemukan” daerah tersebut dan membangun komunitas atau masyarakat disitu. Mereka yang datang kemudian, setelah komunitas di tempat itu “jadi” dikategorikan sebagai pendatang, tamu, atau orang asing. Mereka ini dianggap kurang berhak menduduki posisi penting dalam struktur sosial yang ada. Mereka juga tidak berhak menjadi orang-orang yang lebih kuat, lebih superior, lebih berkuasa, atau lebih menguasai sumber daya alam yang ada daripada tuan tanah (penduduk asli).
Salah satu sifat penting dari hak ulayat adalah pembatasan di mana mereka yang bukan Kamoro pada prinsipnya tidak diperbolehkan turut mengenyam atau menggarap tanah atau mengambl hasil tanah dan sungai. Wilayah tersebut merupakan wilayah kekuasaan persekutuan taparu-taparu yang ada di dalam lingkaran hidup Suku Kamoro. Hak penguasaan dan hak pemilikan ditentukan atas dasar genealogis (keturunan) yaitu oleh taparu yang sama, sebab mereka memiliki nenek moyang yang sama. Jika pranata lokal seperti ini dijalankan, maka equilibrium atau kepaduan sosial akan hadir. Akan tetapi equilibrium ini tidak pernah abadi.
Seperti fenomena yang terjadi pada masyarakat Zulu yang diungkapkan oleh Gluckman, bahwa masyarakat Zulu memiliki kesetiaan yang ambigu yaitu kepada raja dan pemerintah Apartheid. Pada masyarakat suku Kamoro juga terjadi fenomena yang polanya hampir sama yaitu kesetiaan yang ambigu. Di satu sisi masyarakat Kamoro setia kepada pranata lokal atau pranata adat yang tercermin dalam fenomena taparu dan norma-norma sosial yang melekat. Akan tetapi di sisi lain, masyarakat Kamoro juga setia kepada pemerintah Republik Indonesia.
Terdapat banyak kaitan antara kebudayaan dan pembangunan, tetapi satu yang paling penting yaitu yang melibatkan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Terdapat hubungan yang penting antara kelangsungan kehidupan kebudayaan dengan kelangsungan lingkungan hidup, antara kesehatan sebuah kebudayaan dengan kesehatan lingkungan hidup (Dove, 1994; xxxi, dalam Paulus Florus dkk). Begitu juga tentang asal-usul penguasaan dan pemilikan tanah, yaitu bahwa asal mula orang menduduki suatu wilayah (tanah) menurut hukum adat, biasanya merupakan warisan orang tua atau warisan para leluhur mereka yang pernah menguasai tanah tersebut. Ada juga yang menduduki tanah dengan cara kekerasan atau mengadu kekuatan lewat perang antara taparu-taparu yang saling berdekatan tanah ulayatnya, yang bertujuan untuk memperluas dan memperebutkan wilayah (tanah) kekuasaan, di mana yang menang perang adalah yang berhak menguasai tanah. Pimpinan perang yang menang lalu diangkat sebagai pemimpin adat, orang Kamoro menyebutnya sebagai weyaiku. Weyaiku berfungsi sebagai penjaga keamanaan, mengawasi, dan melindungi hak-hak rakyat terutama hak-hak penguasaan atas tanah.
Dengan demikian dapat terlihat bahwa orang Kamoro menguasai dan memiliki tanah (tapare) bersumber dari warisan orang tua atau para leluhurnya yang diteruskan sampai kepada mereka yang saat ini masih hidup. Maka “hubungan hukumnya” dengan tanah (tapare) bukan hanya kepada orang-orang yang masih hidup saja. Akan tetapi orang-orang yang telah mati pun masih mempunyai “hubungan hukum” dengan tanah ulayat sukunya. Tanah-tanah ulayat (adat) yang berupa dusun sagu atau dusun yang berisi pohon-pohon besar, dalam religi masyarakat Kamoro diyakini ada penjaga yang berupa makhluk halus yang mereka sebut swanggi. Swanggi ini adalah roh dari para orang tua dan nenek moyang pemilik dusun masing-masing. Jika ada “orang luar” masuk dan mengambil isi dusun yang berupa sagu, kayu, atau binatang tanpa minta ijin kepada masyarakat pemiliknya, maka swanggi penunggu dusun itu diyakini akan membunuh orang luar tadi.
P.T. Freeport Indonesia dan P.T. Jayanti
Tanah untuk perkampungan atau pemukiman adalah tempat masyarakat membangun rumah mereka secara permanen. Pembangunan rumah ini sebenarnya bukan ide murni masyarakat akan tetapi berasal dari gagasan pemerintah terutama Departemen Sosial. Instistui ini pada masa lalu gencar mengkampanyekan program restlement (pemukiman kembali) secara menetap bagi masyarakat-masyarakat yang dianggap terasing. Dengan pemukiman yang menetap ini, maka negara akan mudah untuk mengontrol masyarakat. Dengan dukungan dana dari PT Freeport, maka dibangunlah rumah-rumah permanen dan rumah semi permanen untuk masyarakat Suku Kamoro yang sebelumnya tidak mengenal pemukiman menetap (Susilo, dkk;2001).
PT Freeport bersedia mengeluarkan dana karena didesak oleh pemerintah dan masyarakat untuk menyisihkan sebagian kecil keuntungan perusahaan bagi masyarakat di dalam dan di sekitar Area Kontrak Karya (AKK) PT Freeport. Dana tersebut biasa disebut oleh masyarakat dan pemerintah sebagai dana recognisi (ganti rugi) atas kerusakan lingkungan di tanah ulayat suku Kamoro. Dalam menghadapi dan memaksa PT Freeport ini masyarakat Kamoro terintegrasi ke dalam wadah Lembaga Masyarakat Adat Suku Kamoro (LEMASKO). Walaupun negara RI telah memberi ijin kepada PT Freeport, tetapi melalui LEMASKO masyarakat sering memprotes keberadaan PT Freeport di wilayah mereka beserta dampak lingkungan yang ditimbulkannya. Demi mewujudkan tuntutannya, masyarakat juga sering menghadang dan menyandera karyawan dan mobil Freeport yang sedang melaju di jalan. Karena berbagai tekanan dari LEMASKO akhirnya PT Freeport sanggup membuat kesepakatan dengan tokoh-tokoh adat masyarakat Kamoro yang tertuang di dalam “Dokumen Rekognisi”. Rekognisi atau ganti rugi ini diwujudkan dalam pembangunan fi sik untuk masyarakat Kamoro (rumah permanen, jaringan jalan raya, mesin perahu, mobil bus masyarakat, dan uang tunai) selama lima tahap dan berlangsung selama lima tahun. Rekognisi ini dimulai dari tahun 1998 sampai 2002. Selain itu setiap tutup tahun buku masyarakat juga mendapatkan pembagian dana 1% (satu prosen) dari keuntungan kotor yang didapat oleh PT Freeport.
Pada tahap selanjutnya yaitu pada saat menerima ganti rugi terutama yang berupa uang tunai, maka masyarakat terfragmentasi antara para tokoh masyarakat (tomas) di satu sisi yang berhadapan dengan masyarakat umum di sisi yang lain. Manipulasi dan korupsi uang rekognisi serta uang pembagian dana 1 % dari PT Freeport yang dilakukan oleh para tokoh masyarakat, menjadi peristiwa yang sering terjadi di dalam masyarakat Kamoro. Perusakan dan pembakaran oleh masyarakat terhadap rumah-rumah para tomas (tokoh masyarakat) yang korup sering diberitakan oleh koran lokal Timika Pos dan Radar Timika. Peristiwa ini terjadi setiap tahun ketika dana untuk masyarakat mengucur dari PT Freeport.
Dalam berhadapan dengan perusahaan HPH (Hak Pengelolaan Hutan) yaitu PT Jayanti yang dianggap telah merusak dusun (hutan homogen) di tanah ulayat Suku Kamoro, masyarakat Kamoro juga terintegrasi untuk memprotes dengan melakukan penghadangan dan penyanderaan karyawan serta mobil perusahaan HPH itu. Tuntutan terhadap PT Jayanti untuk memberikan dana rekognisi (ganti rugi) kepada masyarakat Suku Kamoro tidak berhasil. PT Jayanti sudah beberapa tahun terakhir ini menutup usahanya dan pergi dari tanah ulayat Suku Kamoro yang mana kayu-kayu besarnya terutama kayu besi yang mempunyai nilai jual tinggi telah mereka babat hampir habis. Hutan di tanah ulayat Suku Kamoro menjadi hutan sekunder yang ditumbuhi oleh pohon-pohon kecil, sagu, dan semak-semak. Hutan primer dengan pohon-pohon besarnya telah hilang ditebang, atau relatif tinggal sedikit.
Interaksi telah terjadi antara masyarakat Suku Kamoro dengan para pendatang terutama dengan para buruh penebangan kayu dari perusahaan HPH—yang paling besar PT Jayanti. PT Jayanti beroperasi di wilayah ulayat Suku Kamoro setelah mendapat ijin dari negara. PT Jayanti menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya perubahan pada masyarakat Suku Kamoro. Sebelum kedatangan perusahaan HPH yang menebangi pohon-pohon hutan Kamoro, masyarakat Kamoro hanya menebang pohon besar dengan kapak atau alat tradisional lain apabila ingin membuat perahu atau sampan. Pohon-pohon yang ditebangpun juga pohon tertentu yang bisa dibuat perahu (kuu). Kadang-kadang mereka juga menebang pohon kecil atau mengambil ranting untuk kayu bakar. Para buruh HPH yang kebanyakan berasal dari Sulawesi Selatan itu melakukan penebangan pohon secara besar-besaran dengan chain saw atau gergaji mesin yang hasilnya adalah hutan-hutan cepat menjadi gundul dan ternyata kayu-kayu hasil penebangan itu untuk dijual. Kemudian masyarakat Suku Kamoro ikut-ikutan menebang pohon-pohon besar untuk dijual kepada pemesan. Pohonpohon yang mempunyai nilai ekonomi tinggi adalah pohon kayu besi dan pohon cendana.
Aktivitas penebangan telah berubah, jika dahulu masyarakat Kamoro menebang pohon besar untuk membuat perahu dan hanya pohon tertentu yang ditebang kemudian pohon-pohon besar ditebang untuk dijual kepada pengusaha kayu. Uang hasil penjualan kayu itu kemudian untuk membeli beras dan kebutuhan lain serta untuk mabuk. Di sini masyarakat juga terfragmentasi di mana
kepentingan untuk menebang pohon-pohon di bekas tanah ulayat yang telah dikonversi menjadi tanah negara, sering menjadi penyebab konflik. Masyarakat Kamoro saling berebut untuk menebang pohon
yang kemudian mereka tebang dan mereka jual. Jadi untuk memperoleh beras sebagai pengganti sagu yang makin sulit diperoleh, maka salah satu aktivitas masyarakat adalah menebang pohon-pohon di hutan yang kemudian mereka jual kepada pengusaha kayu dan hasil penjualan itu lalu mereka belikan kebutuhan hidup.
SIMPULAN
Dari uraian deskriptif-analitis terlihat bahwa fenomena sosial-budaya yang terjadi pada masyarakat Suku Kamoro bisa dianalisis dengan teori struktur fragmentasi yang merupakan varian dari teori fungsionalismestruktural. Hasil analisis memperlihatkan bahwa equl ibrium (kepaduan sosial ) sebenarnya lebih merupakan kondisi ideal. Jika equilibrium muncul maka sifatnya hanya sementara. Berbagai konflik sosial baik internal di dalam masyarakat Kamoro, maupun konfl ik eksternal yang memposisikan masyarakat Kamoro beroposisi atau berhadapan dengan pendatang seperti PT Freeport Indonesia maupun perusahaan HPH PT Jayanti menjadi sebab tidak abadinya equilibrium.
Sikap ambigu juga memposisikan masyarakat Kamoro untuk taat kepada pranata lokal dengan berbagai norma dan nilai yang melekat pada kebudayaan Suku Kamoro. Akan tetapi di sisi lain masyarakat juga taat kepada pemerintah Republik Indonesia. Walaupun begitu ketaatan kepada pemerintah RI yang telah memberikan ijin operasi PT Freeport Indonesia maupun PT Jayanti di wilayah tanah ulayat Suku Kamoro, sering diingkari oleh masyarakat Kamoro. Masyarakat Kamoro yang terintegrasi ke dalam LEMASKO melakukan oposisi terhadap pendatang, dalam hal ini terhadap PT Freeport maupun PT Jayanti. Sikap oposisi ini dilakukan oleh masyarakat dengan cara melakukan protes, penghadangan, dan penyanderaan terhadap kepentingan dua perusahaan pendatang itu.
Pada kesempatan lain ternyata struktur sosial masyarakat juga terfragmentasi untuk beroposisi secara internal. Oposisi internal masyarakat Kamoro ini terwujud di dalam konfl ik antar taparu, antar desa, antar
0 komentar:
Posting Komentar