Senin, 09 November 2015

EKSISTENSI PASAR-PASAR TRADISIONAL DI KOTA SEMARANG TAHUN 1873 – 1914


Forum Ilmu Sosial, Vol. 36 No. 2 Desember 2009

EKSISTENSI PASAR-PASAR TRADISIONAL
DI KOTA SEMARANG TAHUN 1873 – 1914
Putri Agus Wijayati
Jurusan Pendidikan Sejarah FIS Unnes


Abstract

Since 1873 can be regarded as the beginning of growth and development of traditional market
significantly in Semarang. The deadline was set in 1914, based on the 30 April 1914 Besluit No.379 of decentralized market businesses submitted to the local council (city council). Above conditions, led to problems including: the form of regulation, market management and the government’s revitalization of the markets in Semarang. Since decentralization, the delegation obtained Semarang Municipal obligations in managing public facilities including care and repair and even build a set of market infrastructure. Until the year 1910 the market management in Semarang are still under the direct supervision of the colonial government. Revitalization evidenced by an increase in the quality and infrastructure through discussion at city council level. Various efforts related to the revitalization of the market almost all the elements to give her attention. Technical Committee started, City Project Director, Chairman of the City Council, Member of the Council, the Commission indicates the involvement of all markets is intense. Revitalization of the whole market began to be realized from the building and management system. Not just action for the order, cleanliness, security, cleanliness, health, but the administration and supervision of fi nancial markets means the attention of many parties. Order of the occupation has given a lot of positive infl uence in the development of markets empowerment in Semarang and of course can be used as a source of learning. Irrespective of political background surrounding the economic-colonialist interests.
 
Key words: Eksistention, traditional market, decentralization

PENDAHULUAN

      Alasan memilih topik ini didorong oleh ketertarikan terhadap beberapa persoalan yang melingkupi pasar tradisional pada kondisi saat ini. Mulai dari masalah kondisi fisik maupun non fisik. Dalam pemikiran selanjutnya, peneliti lebih terdorong untuk memotret revitalisasi pasar tradisional dengan cakupan tahun 1873 - 1914. Scope temporal penelitian diawali pada tahun 1873, didasarkan pertimbangan bahwa pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan keputusan menganggap penting perdagangan domestik kecil sehingga di semua titik perdagangan dan pemukiman penduduk akan dibangun pasar (Kolonial Tijdschrift, 1913:1095). Adapun batasan akhir penelitian ini ditetapkan pada tahun 1914, dengan alasan yang bisa dikemukakan bahwa pada tahun itu Gubernur Jendral Hindia Belanda mengeluarkan besluit tertanggal 30 April 1914 No.379. Besluit Decentralisatie Marktwezen tentang penyerahan lembaga pasar kepada dewan lokal, yang dimuat dalam Staatsblad 1914 No. 380, peraturan itu diberlakukan untuk seluruh Jawa dan Madura, termasuk Kotapraja Semarang. 
        Permasalahan yang perlu dikemukakan adalah bagaimana revitalisasi yang dilakukan pemerintah terhadap pasar tradisional,mengingat eksistensi pasar, khususnya yang tradisional merupakan salah satu indikator paling nyata dari aktivitas pemberdayaan ekonomi kerakyatan.
          Hasil penelitian ini ditujukan untuk menemukan pola , model , maupun memberikan solusi pengembangan dan peningkatan kualitas serta infrastruktur pasar tradisional. Seperti diketahui bahwa pasar tradisional merupakan salah satu relung kehidupan yang sangat penting karena potensi strategis sebagai infrastruktuer ekonomi daerah dan pusat pemasaran yang menggambarkan denyut nadi perekonomian rakyat kebanyakan.
            Berhasilnya penelitian ini diharapka mampu memberi kebermanfaatan secara teoretis maupun pragmatis. Manfaat teoretis di antaranya bisa dijadikan bahan kajian yang berguna agar eksistensi pasar-pasar tradisional yang saat ini mulai terpinggirkan, segera berbenah untuk menghadapi persaingan yang semakin berat dengan kehadiran pasar modern. Dalam segi pragmatis: menyumbangkan wawasan berpikir kritis bahwa pembenahan dan peningkatan kualitas pasar beserta
infrastrukturnya bukan hanya tanggung jawab pemerintah semata, melainkan perlu dukungan kelompok-kelompok yang terlibat dalam kegiatan di pasar. Pada masa mendatang, bisa dilakukan penelitian sejenis sebagai tindak lanjut dari penelitian ini. Tiada lain untuk memahami kecenderungan
dari fenomena sosial, apakah peran serta pemerintah yang intensif dalam melindungi pasar tradisional serta mengatur kehadiran pasar modern sudah bisa dijadikan jawaban dari eksisnya pasar tradisional yang menjadi tempat pembibitan jiwa kewirausahaan dalam bentuk yang sederhana.

METODE PENELITIAN
          Penelitian mengenai pasar tradisional di Kota Semarang periode 1873-1914
bertumpu pada sumber tekstual yang diperoleh melalui teknik “observasi tidak langsung”. Keistimewaan data verbal ialah dapat mengatasi ruang dan waktu sehingga membuka kemungkinan bagi penelitian untuk memperoleh pengetahuan mengenai fenomena sosial yang telah musnah
(Kartodirdjo, 1982:98). Kumpulan data verbal yang berbentuk tulisan atau sering juga disebut “dokumen dalam arti sempit”dimanfaatkan untuk memperoleh informasi tentang konsep dan model revitalisasi pasar-pasar tradisional di Kotapraja Semarang.
          Langkah berikutnya melalui proses analisis tektual dan analisis kontekstual dalam menguji otentisitas, kredibiltas dan derajad akurasi data sejarah. Hal ini untuk mempelajari keterkaitan antar sumber-sumber yang relevan, di samping melakukan penelitian intrinsik terhadap isi sumber untuk menentukan sifat informasi yang diberikan. Model analisis tekstual dan kontekstual diperlukan untuk mendapatkan kepastia apakah record sources mampu memberikan kesaksian menyangkut berbagai persoalan yang menjadi obyek penelitian ini. Analisis fakta interpretative dan pendekatan kualitatif yang bersifat induktif untuk menemukan saling keterkaitan antar fakta. Adapun pendekatan kualitatif induktif dimaksudkan untuk menarik kesimpulan, teori dan konsep dari berbagai data rinci yang ditemukan (Barney, 1994:17-20).
 
HASIL DAN PEMBAHASAN
          Model eksploitasi ekonomi yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda sejak 1870 dengan sistem liberal atau lebih dikenal dengan sebutan “Politik Pintu Terbuka” merupakan suatu hal yang sangat penting dalam perkembangan kota dan perdagangan (Wertheim, 1956: 151). Semarang sebagai salah satu kota kolonial, yang sejak pertengahan abad XVIII, tepatnya dari tahun 1743 sampai 1808 ditetapkan sebagai pusat pemerintahan wilayah Pantai Timur Laut Jawa memiliki potensi cukup strategis dalam pengembangan perdagangan. Sekalipun harus diakui bahwa pada periode ini pun, Kumpeni bukan merupakan suatu bentuk “pemerintahan”. Akan tetapi dikarenakan begitu kuatnya intervensi yang dijalankan terhadap penguasa Jawa, sehingga beberapa daerah menjadi berada di bawah “kekuasaan” Kumpeni, sebagai kompensasinya, termasuk wilayah Semarang.
          Atmosfir kolonialisme lebih nyata pada awal abad XIX, ditandai dengan bangkrutnya Kumpeni dan lahirnya bentuk penjajahan baru dalam wujud “Pemerintah Kolonial Hindia Belanda”. Namun demikian, terlepas dari susunan politik ekonomi kolonialisme, Jawa yang sempat kehilangan tradisi dan pengalaman perdagangannya semasa pemerintah Sultan Agung, menjadi bergairah lagi. Utamanya simpul jaringan ekonomi perdagangan dari pedalaman Jawa bagian tengah maupun perdagangan lokal, yang akan melibatkan kelompok wirausaha pribumi dalam skala kecil atau sederhana (pedagang pribumi di pasar).
        Seiring perkembangan ekonomi liberal, aktivitas perdagangan di Semarang tidak dapat dilepaskan dari pola dasar perkembangan kota ke arah pembangunan kawasan. “Kota Benteng” sebagai julukan yang diberikan kepada Semarang, memiliki jalinan jalan yang teratur sebagai jalur lalu lintas yang cukup ramai, yakni de Heerenstraat (sekarang Jalan Letjen Suprapto), de Huis
Straat, de Bloem Straat, dan de Burg Straat (Dinas Pariwisata & Kebudayaan Kab. Semarang, 2007: 65). Di samping sarana infrastruktur tersebut, masih didukung oleh keberadaan berbagai fasilitas kota
kolonial, berupa jalan kereta api, gedung pemerintah (kantor Pemerintah Kotamadya di Jl. Pemuda), CBZ (Centrale Burgelijke Ziekenhuis yang pada jaman pendudukan Jepang berubah nama menjadi rumah sakit Purusara atau sekarang menjadi RS Karyadi dan RS Elizabeth), pelabuhan, titik-titik pertemuan untuk melaksanakan transaksi perdagangan lokal atau disebut pasar.
           Pasar di kota Semarang terbagi dalam beberapa tingkatan atau kategori, tergantung fungsi dan peranan yang berlaku pada pasar yang bersangkutan. Kategori pertama, dinamakan pasar sentral atau pasar induk atau bisa juga disebut pasar besar, tempat berlangsungnya transaksi jual beli dalam
skala besar (grosir, tempat para distributor/agen mendapatkan barang dagangan) untuk didistribusikan ke pasar tingkat menengah dan pasar kecil atau pasar lokal. Pasar Johar di Semarang termasuk dalam kategori jenis ini, karena selain berfungsi sebagai tempat transaksi pedagang dari berbagai suku bangsa, sekaligus juga dimanfaatkan sebagai gudang penimbunan barang perdagangan. Ada pula yang dinamakan pasar lokal atau pemerintah kolonial Belanda menyebutnya pasar domestik kecil, yang sebagian besar kegiatannya menangani perdagangan eceran dalam arti penjualan barang-barang keperluan hidup primer sehari-hari. Pasar jenis ini diantaranya: Pasar Pedamaran Kidul, Pasar Pedamaran Lor, Pasar Karang Bidara, Pasar Ambengan, Pasar Bugangan, Pasar Bulu (Gedenboek der Gemeente Semarang: 181).
          Didasarkan pada penelitian yang telah dilaksanakan, diperoleh berbagai sumber atau data sejarah yang memberikan informasi mengenai segala hal yang bisa digunakan untuk menunjukkan benang kait dengan revitalisasi pasar-pasar di Kotapraja Semarang periode kolonial, lebih tepat lagi
antara periode 1873 hingga 1914. Adapun hasil penelitian yang bisa dikemukakan disini antara lain sebagai berikut. Satu hal penting terkait dengan jenis pasar lokal dalam hal ini regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial. Dalam Kolonial Tijdschrift dengan pokok pembicaraan “Het
en ander over het ‘Pasar’ of Marktwezen in de Gouvernementslanden op Java en Madoera” diperoleh informasi yang menyatakan pemerintah kolonial mengeluarkan kebijakan. Kebijakan yang dikemas dalam keputusan ¹. 37 tahun 1873 tertanggal 15 Juli menyatakan bahwa “pemerintah menganggap penting perdagangan domestik kecil, sehingga di semua lini atau titik perdagangan perlu dibangun sebuah “pasar” (1913:1095).
         Hampir di semua tempat - tempat pertemuan perdagangan didirikan pasar dan los pasar, namun sampai menjelang akhir abad XIX masih dalam kondisi buruk sehingga perlu adanya pemikiran untuk perbaikan secara menyeluruh. Sampai kira-kira desenia pertama awal abad XX, tepatnya tahun 1910 pengelolaan pasar di Semarang sebagian besar masih berada di bawah pengawasan langsung pemerintah kolonial, termasuk beberapa los-los pasar di beberapa tempat. 
         Di samping itu juga dijumpai bangobangoyang didirikan oleh pihak swasta atau orang-orang tertentu dan pembayaran sewa untuk penggunaan sebuah bango berkisar antara 1 sampai 5 sen yang dibayarkan pada setiap hari pasaran (Onderzoek naar de Mindere Welvaart der Inlandsche Bevolking
op Java en Madoera VI, ,1909 : 219). Bagi pedagang kecil, pembayaran sewa itu dianggap memberatkan. Untuk menghindarinya, tidak sedikit pedagang yang membangun bango sendiri guna memperingan biaya. Terdapat usulan agar pendirian los-los pasar dilakukan oleh pemerintah dengan cara pengambilalihan semua lahan pasar beserta bango atau kedai. Sementara itu, juga terdapat tuntutan untuk pengaturan pungutan atas pasar. Untuk membersihkan sampah, ada istilah uang sapon atau pesapon yang harus dibayar oleh setiap pedagang sebesar ½ sampai 1 sen kepada tukang sapu yang sekaligus bertindak sebagai penjaga pasar (1909 : 219).
     Eksistensi pasar-pasar tradisional di Kota Semarang menunjukkan perkembangan dan pertumbuhan yang sangat berarti sejak diberlakukannya desentralisasi sebagai berikut. Regulasi atau peraturan yang dibuat oleh pemerintah kolonial sejak tahun 1906 mengalami perubahan. Dalam arti pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat di Batavia diserahkan kepada Kotapraja Semarang, terkait dengan politik desentralisasi yang memberikan otoritas untuk mengembangkan daerah masing-masing. Dalam Algemeen Gemeenteblad tanggal 15 Juni 1907 ¹. 50 yang dimuat dalam Koloniaal Tijdschrift dinyatakan keberadaan lembaga pasar merupakan awal dari langkah kotapraja yang semakin kuat untuk memikirkan kehidupan penduduk pribumi, Timur Asing, Cina dan Arab. Hal ini dikarenakan masyarakat umum dalam berbagai hal tentunya berhubungan dengan lembaga pasar yang teratur. Ditinjau dari sudut pandang usaha perdagangan diantaranya keamanan, kebersihan, keuangan kotapraja, pencegahan pencurian dan tindak pemerasan, maka untuk menjaga semua itu dirasa perlu kehadiran sebuah “lembaga pasar” (1913:1097).
      Kehadiran sebuah lembaga pasar yang teratur untuk menangani kepentingan penjualan hasil pertanian, peternakan, hasil kerajinan dan berbagai kebutuhan masyarakat lainnya. Melalui desentralisasi, diharapkan upaya berbagai perbaikan seperti pungutan pasar bisa berlangsung secara rutin, namun tidak memberatkan penduduk. Hal itu menunjukkan bahwa perhatian pemerintah kolonial terhadap kondisi pasar domestik demikian besar, sekalipun tidak bisa diingkari bahwa kepentingan penguasa kolonial juga terlibat didalamnya.
       Wajar apabila lembaga pasar di kota-kota Hindia Belanda menduduki posisi yang sangat penting. “Usaha pasar” bagi Kotapraja Semarang termasuk salah satu upaya yang menjanjikan dalam meningkatkan pendapatan. Bisa dikatakan bahwa usaha pasar bersumber pada konteks Kotapraja dan terkait dengan adanya kebutuhan dan kepentingan penduduk Semarang. Hampir seluruh daerah atau wilayah Hindia Belanda, tidak ada kota yang lembaga pasarnya tidak diatur oleh pemerintah. Tujuan yang ingin dicapai kotapraja dengan pengaturan lembaga pasar, pada mulanya tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, namun terutama untuk memperbaiki kondisi pasar dan memperhatikan kesehatan rakyat setempat.
          Melalui pencabutan pasal 50 peraturan lokal dan membuat peraturan tentang pemungutan yang dimuat dalam Bijblad (Lembaran Tambahan) . 7221, dinyatakan bahwa aturan-aturan yang menyangkut pajak umum tidak boleh dicampur dengan pungutan. “Pajak” yang dimaksud sebagaimana pasal 58 peraturan pemerintah, yaitu penyetoran berupa uang untuk kepentingan masyarakat dan jumlahnya ditetapkan oleh penguasa serta wajib dibayar oleh penduduk. Adapun yang dimaksud “retribusi” adalah pembayaran yang dibebankan untuk mengganti jasa-jasa khusus yang disediakan oleh negara kepada yang memintanya seperti uang lahan, sewa gudang, pembayaran untuk kebersihan pasar. Hak dari pihak ketiga dibeli dalam arti kata pengambilalihan pasar partikelir dan pengelolaan administrasi serta pengawasan atas sarana keuangan pasar.
            Berbagai kebijakan untuk perbaikan pasar ditetapkan dalam peraturan pasar oleh dewan lokal (Kol. Tijd. 1913 :1096). Namun perlu diketahui dalam hal ini, ternyata pemerintah kolonial masih melakukan kontrol terhadap aktivitas yang sudah diserahkan kepada pemerintah kotapraja, yaitu beberapa pasar yang pengelolaannya diserahkan kepada dewan lokal berada di bawah pengawasan Komisi Eropa. 
          Tugas dan tanggung jawab kepala pasar dituangkan dalam sebuah instruksi yang terdapat pada Algemeen Gemeenteblad 1907 antara lain berbunyi: seorang kepala pasar akan diangkat dengan wewenang menjaga keamanan dan mempunyai kewajiban yang sangat luas, akan memperoleh penghasilan setiap bulan, mendapat tugas administrasi dalam hal pungutan uang. Kepala pasar tidak mengelola penghasilan pasar sendiri, karena retribusi harus disetorkan ke bank daerah.
           Bagi para penjual tetap, pungutan dilakukan setiap bulan atau setiap kuartal dengan pembagian kartu dan bagi penjual musiman, pungutan dilakukan setiap hari pasaran. Los-los pasar terutama yang permanen dilengkapi nomer dan nama penyewa (1913 :1105-1106). Pendapatan atau
penghasilan pasar diperoleh dari retribusi, yang sebagian berasal dari uang sewa gudang dan lahan, setelah dipotong berbagai pengeluaran untuk gaji, biaya perawatan dan perbaikan pasar. Semua pasar-pasar di Jawa dan tentu saja Kotapraja Semarang termasuk dalam ketentuan ini harus berada di bawah pengelolaan langsung kotapraja.
 
Pengelolaan Pasar-Pasar Di Kota Semarang
        Pada tanggal 30 Oktober 1912, Perusahaan Dagang di Semarang mengajukan permohonan kepada Komisi Pasar mengenai pengelolaan bersama Pasar Johar. Permohonan itu mendapat tanggapan Ketua Komisi Pasar, D.J.A. Westerveld melalui surat tanggal 12 Desember 1912 .168 (Notulen van het Verhandelingen in de Vergaderingen van den Raad der Gemeente Semarang in 1913). Pada dasarnya Komisi Pasar bisa memahami bahwa diantara elemen yang terlibat dalam transaksi perdagangan di Pasar Johar, baik para pedagang/penjual, para pembeli, penyewa los pasar telah terjalin hubungan yang sangat akrab. Mereka merasa keberatan terhadap permohonan yang diajukan oleh Perusahaan Dagang di Semarang untuk mengelola pasar tersebut.
         Komisi Pasar memberi masukan kepada Dewan Kota bahwa “pengelolaan bersama pasar tersebut” akan menimbulkan terganggunya hubungan yang sudah terbentuk. Pasar Johar, sekalipun pengelolaannya masih berada di pihak partikelir namun telah menyatu dan memiliki tempat penting dalam kehidupan masayarakat. Bagi masyarakat Semarang Pasar Johar bukan sekedar tempat bertemuanya penjual dan pembeli. Lebih dari itu, sebagai wahana interaksi sosial yang ditunjukkan oleh perilaku warga pasar. Oleh karenanya ketika persoalan itu dibicarakan dalam rapat Komisi Pasar, ada tuntutan agar kotapraja juga memperhitungkan prinsip keadilan terhadap hubungan yang sudah terjalin erat antar penghuni pasar. Untuk tujuan itu, Komisi Pasar menyerahkan kepada Dewan Kota tentang aturan-aturan peralihan yang berhubungan dengan para penghuni pasar Johar dalam batas-batas yang menjadi hak prioritasnya. Sementara Perusahaan Dagang di Semarang minta pertimbangan Dewan Kotapraja untuk memutuskan pengelolaan bersama Pasar Johar. Pengelolaan tentang aturan terhadap penghuni los di Pasar Johar, wajib mematuhi aturan yang dibuat dan harus merawat los pasar selama waktu yang telah ditetapkan.
         Permohonan J.F. Cramer Bornemann untuk membuka 2 warung: satu di jalan Pedati dan satunya lagi di perempatan Karangtempel-Pandeanlamper yang akan digunakan sebagai tempat penjualan limun dan rokok. Namun berdasarkan nasehat Komisi Pasar tanggal 24 Oktober 1912. 88a dan Direktur Proyek Kotapraja tanggal 13 Desember 1912. 275/11, maka ditetapkan oleh dewan kota
bahwa tempat di Jalan Pedati adalah milik firma Soesman dan bukan merupakan lahan yang dikelola oleh kotapraja, demikian pula lahan di Karangtempel-Pandeanlamper, maka permohonan J.F. Cramer Bornemann untuk membuka warung tidak bisa dikabulkan.
         Sie Jan Han yang tinggal di Plampitan Kranggan mengajukan permohonan ijin membuka warung di belakang Taman Kota di samping restoran Oewa. Untuk menanggapi permohonan itu, diadakan pembahasan antara Komisi Pasar, Direktur Proyek Kota dan Ketua Dewan Kotapraja. Didasarkan atas nasehat Komisi Pasar tanggal 28 November 1912 ¹. 95a, Direktur Proyek Kota tanggal 3 Januari 1913. 6/11 dan Ketua Dewan Kotapraja Semarang tanggal 6 Januari 1913. 36, maka diputuskan bahwa permohonan Sie Jan Han tidak bisa dikabulkan (Notulen van het Verhandelingen in de Vergaderingen van den Raad der Gemeente Semarang in 1913:81). Selanjutnya Pasar Pedamaran Lor yang terletak di dekat tempat tersebut agar bisa menyediakan tempat yang memadai untuk kedai-kedai penjualan.
                Pemungutan tarip di berbagai pasar ditetapkan dalam keputusan dewan tanggal 10 Pebruari 1911. Pasar Pedamaran Lor untuk los sebelah utara 3 sen per m2, los selatan di Pasar Pedamaran Tengah 2 sen per m2, los sisi selatan Pasar Pedamaran Kidul 3 sen per m2, los selatan Pasar Kranggan 2 sen per m2, los selatan Pasar Jurnatan 2 sen per m2, los selatan di Pasar Karangbidara 2 sen per m2, dan los selatan Pasar Peterongan 2 sen per m2. Lahan terbuka atau di luar los di pasarpasar itu dikenakan tarip sebesar 1 sen per m2 (Verslag van den Toestand der Gemeente
Semarang over 1912).
         Dalam keputusan dewan tanggal 30 Maret 1913 ditetapkan retribusi dipungut untuk penggunaan tanah di Pasar Johar sebesar 1 sen per m2. Perhitungan jumlah anggaran selama tahun 1911 sampai dengan 1914 seperti dalam Tabel 1.
              
Tabel 1. Perhitungan Jumlah Anggaran Selama Tahun 1911 sampai dengan

Dewan Kota mempertimbangkan permohonan Kastamah (penduduk yang tinggal di Kampung Branci - Kebonsari) tentang pengajuan ijin untuk membuka warung di jalan Ambengan. Atas dasar
nasehat Komisi Pasar tanggal 8 Mei 1913 ¹.40a, Direktur Proyek Kotapraja tanggal 24 Mei 1913 ¹.180/11 dan Ketua Dewan tanggal 28 Mei 1913 ¹.235 (1913:386), diputuskan bahwa Pasar Ambengan yang terletak di dekat sebidang tanah yang penggunaannya diminta oleh Kastamah masih menawarkan lahan yang cukup untuk kedai penjualan, sehingga permohonan itu dikabulkan oleh dewan.
           Keputusan dewan tanggal 2 Juli 1908 (Gemeenteblad 1908 ¹. 199 dan 220) menyatakan bahwa pengelolaan lahan di Pasar Johar dan Pekojan tidak akan diserahkan kepada kotapraja. Persoalan ini belum bisa diselesaikan oleh dewan sampai tahun 1916.

          Pemerintah Kotapraja Semarang sejak memperoleh pelimpahan wewenang mengelola beberapa sarana publik (tahun 1906), terutama yang sesuai dengan fokus pembicaraan di sini yaitu pasar, telah menunjukkan keseriusannya dalam menata dan mengembangkan pasar. Langkah awal
perhatian pemerintah kotapraja dibuktikan dalam pembahasan di tingkat dewan, yang pada gilirannya direalisasikan dalam wujud perbaikan, pembaharuan atau bahkan penolakan ijin pendirian sebuah warung,seperti di bawah ini.

           Ketua Dewan Kotapraja Semarang, B. Coops membicarakan dengan Komisaris Pemerintah untuk bisa memperoleh gambar pasar di Singapura guna mempersiapkan pembangunan pasar-pasar baru di Kotapraja Semarang (Gemeenteblad uitgegeven voor Rekening der Gemeente Semarang 1912). Wewenang diberikan kepada ketua dewan agar memberitahu gubernur jendral dengan adanya surat sekretaris pemerintah kepada konsul jendral di Singapura tanggal 13 Desember 1911 mengenai permintaan gambar pasar. Pada tanggal 1 Februari 1912 diterima tembusan surat dari konsul jenderal
di Singapura, yang menyatakan bahwa rancangan gambar dan pengiriman cetak biru bisa dikirim dengan pembayaran biaya ditafsir sebesar f 280.

           Pada tanggal 30 Oktober 1912 Dewan Kota mengadakan rapat membahas masalah lembaga pasar dalam rencana anggaran selama tahun 1913. Dalam hal ini Komisi Pasar mengajukan usul kepada lembaga pasar tentang pembangunan pasar sentral yang besar, yang terletak di pusat kota. Sebelumnya kotapraja tidak bisa menyetujui usul pembangunan pasar sentral, namun demi kepentingan beberapa kampung luar kotapraja maka pasar sentral memang perlu dibangun. Untuk maksud tersebut lembaga yang ada perlu diperbaiki dan bahkan diperluas.
           Rencana pembangunan pasar sentral ditujukan terhadap Pasar Peterongan yang letaknya sangat strategis sebagai pasar lokal. Jika pasar ini mampu memenuhi kebutuhan penduduk Semarang bagian Tenggara, maka bukan hanya perbaikan namun juga sangat diperlukan perluasan, terutama pada sisi timur. Akan tetapi sisi timur itu berupa persil-persil (sebidang tanah untuk didirikan rumah) yang dihuni oleh orang-orang pribumi dan sebagian besar dibangun rumah papan dilengkapi lantai
ubin merah. Apabila Kotapraja Semarang ingin memiliki persil ini, maka pertama-tama perlu menebus hak milik orang-orang pribumi dengan tujuan untuk menjadikan tanah itu sebagai tanah negara.
         Komisi Pasar dalam perundingannya menghasilkan kesepakatan bahwa penghuni persil bersedia melepaskan hak milik dan mengosongkan persil dengan ganti rugi f 16.500. Penyediaan dana senilai f 16.500 untuk penebusan lahan seluas 2300 M2. Melalui penebusan itu, maka pengelolaan akan diserahkan kepada Kotapraja Semarang sebagai lahan pasar.

           Daftar pemilik rumah yang terdapat di belakang Pasar Peterongan (sisi timur) dengan menyebutkan jumlah uang yang disepakati untuk penebusan rumah dan hak milik atas pekarangan, sebagai berikut.

           Dewan Kota mempertimbangkan permohonan Kastamah (penduduk yang tinggal di Kampung Branci - Kebonsari) tentang pengajuan ijin untuk membuka warung di jalan Ambengan. Atas dasar nasehat Komisi Pasar tanggal 8 Mei 1913 ¹.40a, Direktur Proyek Kotapraja tanggal 24 Mei 1913 ¹.180/11 dan Ketua Dewan tanggal 28 Mei 1913 ¹.235 (1913:386), diputuskan bahwa Pasar Ambengan yang terletak di dekat sebidang tanah yang penggunaannya diminta oleh Kastamah masih menawarkan lahan yang cukup untuk kedai penjualan, sehingga permohonan itu dikabulkan oleh dewan.
           Keputusan dewan tanggal 2 Juli 1908 (Gemeenteblad 1908 ¹. 199 dan 220) menyatakan bahwa pengelolaan lahan di Pasar Johar dan Pekojan tidak akan diserahkan kepada kotapraja. Persoalan ini belum bisa diselesaikan oleh dewan sampai tahun 1916.
  
Signifikansi Pasar Tradisional
 
          Pemerintah Kotapraja Semarang sejak memperoleh pelimpahan wewenang mengelola beberapa sarana publik (tahun 1906), terutama yang sesuai dengan fokus pembicaraan di sini yaitu pasar, telah
menunjukkan keseriusannya dalam menata dan mengembangkan pasar. Langkah awal perhatian pemerintah kotapraja dibuktikan dalam pembahasan di tingkat dewan, yang pada gilirannya direalisasikan dalam wujud perbaikan, pembaharuan atau bahkan penolakan ijin pendirian sebuah warung, seperti di bawah ini.
          Ketua Dewan Kotapraja Semarang, B. Coops membicarakan dengan Komisaris Pemerintah untuk bisa memperoleh gambar pasar di Singapura guna mempersiapkan pembangunan pasar-pasar baru di Kotapraja Semarang (Gemeenteblad uitgegeven voor Rekening der Gemeente Semarang 1912). Wewenang diberikan kepada ketua dewan agar memberitahu gubernur jendral dengan adanya surat sekretaris pemerintah kepada konsul jendral di Singapura tanggal 13 Desember 1911 mengenai permintaan gambar pasar. Pada tanggal 1 Februari 1912 diterima tembusan surat dari konsul jenderal
di Singapura, yang menyatakan bahwa rancangan gambar dan pengiriman cetak biru bisa dikirim dengan pembayaran biaya ditafsir sebesar f 280.

          Pada tanggal 30 Oktober 1912 Dewan Kota mengadakan rapat membahas masalah lembaga pasar dalam rencana anggaran selama tahun 1913. Dalam hal ini Komisi Pasar mengajukan usul kepada lembaga pasar tentang pembangunan pasar sentral

yang besar, yang terletak di pusat kota. Sebelumnya kotapraja tidak bisa menyetujui usul pembangunan pasar sentral, namun demi kepentingan beberapa kampung luar kotapraja maka pasar sentral memang perlu dibangun. Untuk maksud tersebut lembaga yang ada perlu diperbaiki dan bahkan diperluas.
           Rencana pembangunan pasar sentral ditujukan terhadap Pasar Peterongan yang letaknya sangat strategis sebagai pasar lokal. Jika pasar ini mampu memenuhi kebutuhan penduduk Semarang bagian Tenggara, maka bukan hanya perbaikan namun juga sangat diperlukan perluasan, terutama pada sisi timur. Akan tetapi sisi timur itu berupa persil-persil (sebidang tanah untuk didirikan rumah) yang dihuni oleh orang-orang pribumi dan sebagian besar dibangun rumah papan dilengkapi lantai ubin merah. Apabila Kotapraja Semarang ingin memiliki persil ini, maka pertama-tama perlu menebus hak milik orang-orang pribumi dengan tujuan untuk menjadikan tanah itu sebagai tanah negara.
          Komisi Pasar dalam perundingannya menghasilkan kesepakatan bahwa penghuni persil bersedia melepaskan hak milik dan Hak Milik Atas Pekarangan mengosongkan persil dengan ganti rugi f 16.500. Penyediaan dana senilai f 16.500 untuk penebusan lahan seluas 2.300 m2. Melalui penebusan itu, maka pengelolaan akan diserahkan kepada Kotapraja Semarang sebagai lahan pasar.
          Daftar pemilik rumah yang terdapat di belakang Pasar Peterongan (sisi timur) dengan menyebutkan jumlah uang yang disepakati untuk penebusan rumah dan hak
milik atas pekarangan, seperti Tabel 2.
Rencana perluasan Pasar Peterongan yang dimuat dalam surat Komisi Pasar tanggal 23 November 1912 ¹.181 disampaikan kepada Dewan Kota. Bersama dengan Komisi Urusan Keuangan, Ketua Dewan Kotapraja Van der Ent mengusulkan kepada dewan agar bisa mengadakan perubahan anggaran selama tahun berjalan (tahun 1913). Pada anggaran “pembaharuan dan perbaikan pasar”
perlu ditambahkan anggaran pengeluaran “bangunan baru” sehingga terjadi perubahan anggaran dengan tambahan sebesar f 16.500 (1913:86). Dalam keputusan dewan tanggal 20 Januari 1913, wewenang diberikan untuk menebus hak milik persil seluas 2300 M2 yang terletak di belakang Pasar Peterongan senilai f 16.500.
          Pada tanggal 20 Desember 1912, ketua dewan kota memutuskan bahwa Reksohardjo atas permohonan sendiri diberhentikan dengan hormat sebagai kepala pasar. Sebagai penggganti diangkat Sontopawiro untuk jabatan kepala pasar, sebelumnya pembantu kepala pasar. Demikian halnya dengan surat dari Komisi Pasar tanggal 25 Februari 1913 yang memuat usul agar kepala pasar Sastromoeljo diberhentikan dengan hormat dari dinas kotapraja. Untuk mengetahui informasi mengenai sebagai kepala pasar mana dan alasan apa kedua pejabat kepala pasar tersebut diberhentikan, penulis belum bisa menemukan data lebih jauBerkasberkas yang masuk tanggal 27 Juni 1913 memuat surat Amat Edris, yang berisi usul untuk menukar tanah sehubungan dengan pembukaan jalan baru menuju Pasar Bugangan (1913:380). Kecuali itu juga surat Direktur Proyek Kota tanggal 13 November 1913 ¹ 460/16, mengenai penerangan jalan di sepanjang pasar baru di Bugangan.
          Surat Komisi Pasar tanggal 25 April 1913 ¹ 69 tentang usul penjualan kompleks bangunan yang akan dirobohkan di tanah yang diperlukan untuk perluasan Pasar Peterongan (1913:305). Surat itu diajukan kepada dewan kota dan berdasarkan pasal 90 Peraturan Dewan Lokal, maka diputuskan menjual bangunan yang berdiri di tanah yang diperlukan untuk perluasan Pasar Peterongan dan memberi wewenang Komisi Pasar melakukan penjualan ini.
          Demikian halnya dengan permohonan Mualim yang tinggal di Pekojan mengenai ijin untuk pembukaan warung di depan Pasar Johar. Dewan kota dalam mengambil keputusan juga mendasarkan pada masukan dari Komisi Pasar tanggal 3 April 1913 ¹.31a, Direktur Proyek Kotapraja tanggal 8 Mei 1913 ¹.153/11, Kepala Komisaris Kepolisian tanggal 24 Mei 1913 ¹.43/2 A dan nasehat
Ketua Dewan tanggal 30 Mei 1913 ¹.270 (1913:387). Pada dasarnya dewan tidak keberatan terhadap permohonan Mualim, namun Direktur Proyek Kota dan Komisaris Kepala Kepolisian berbeda pendapat.
           Direktur Proyek Kota, A Plate dan Kepala Komisaris Kepolisian merasa keberatan. Keberatan itu berkaitan dengan pembersihan saluran air, tempat warung es akan dibangun dan keberatan yang diajukan Kepala Komisaris Kepolisian berhubungan dengan lalu-lintas. Sementara untuk pendirian
warung es dan penempatan hanggar sepeda di atas saluran air, dewan bisa mengabulkan dengan menagajukan argumentasi bahwa ketika saluran air akan dibersihkan, warung dapat dipindahkan.
         Warung dibuka di atas saluran air di depan pasar Johar. Anggota dewan, Stapel mengunjungi tempat itu dan menemukan (1913:388) bahwa keberatan Kepala Komisaris Kepolisian dianggap wajar. Sebelumnya memang ada beberapa warung di tempat yang sama, tetapi ijin yang diberikan untuk pendirian sudah dicabut karena keberadaan warung-warung ini menghambat lalu-lintas, terutama pejalan kaki. Untuk memberi kemudahan pejalan kaki, saluran air atau got ditutup. Tujuannya adalah memperbaiki lalulintas di depan Pasar Johar, kecuali itu masih ada tempat lain yang memadai dekat tempat yang diusulkan untuk pendirian warung, sehingga tidak ada alasan untuk memberi ijin pendirian di atas saluran air yang sudah ditutup.
          Anggota dewan lain, van der Waag menyatakan bahwa keberatan diajukan karena saluran air sudah ditutup. Akan tetapi di Pasar Karangbidara, dekat Pasar Johar hal itu juga pernah dilakukan oleh pihak kotapraja. Ketua dewan, van der Ent memberikan jawaban bahwa perluasan lahan pasar kotapraja dipercepat oleh Komisi Pasar. Akan tetapi kurangnya pegawai pada dinas pekerjaan kotaraja menjadi penyebab pelaksanaan rencana Komisi Pasar mengalami hambatan. Selama rencana itu tidak segera terlaksana, kondisi yang disebutkan van der Waag harus tetap dipertahankan, namun tidak perlu ada alasan untuk menciptakan kondisi buruk baru.
          Ketua Komisi Pasar, D.J.A. Westerveld tidak merasa keberatan terhadap permohonan pembukaan warung di pusat kota, karena memang diperlukan oleh para kuli untuk tempat makan siang (1913:389). Orang-orang Eropa biasanya memanfaatkan ruangan yang disediakan kantor, sementara para kuli atau pekerja yang sebagian besar penduduk pribumi harus mencari sendiri tempat untuk makan. Kondisi seperti itu berbeda dengan di Eropa yang menyediakan ruangan khusus bagi para pekerja atau kuli untuk makan. Di kota-kota Hindia Belanda, ruangan khusus tersebut tidak disediakan oleh para majikan.
           Anggota  Dewan, Tilema mempertimbangkan apa yang dikatakan oleh Westerveld tentang pentingnya pendirian warung bagi para kuli. Namun persoalannya, tanah di kawasan sentra perdagangana terlalu mahal untuk pendirian warung tempat istirahat kuli dengan jumlah sekitar 300-400 pekerja. Persoalan itu juga dibahas antara Komisi Pasar dengan dewan kota agar lahan untuk pendirian warung-warung di pusat kota bisa disetujui. Pembahasan di tingkat dewan kota memperoleh dukungan suara 11 berbanding 5 suara yang berasal dari van der Waag, Stapel, van Wijngaarden, de Iongh dan de Graaff.
          Sadeli, penduduk yang tinggal di Kauman mengajukan permohonan ijin untuk memasang atap di depan rumahnya yang akan digunakan untuk menjual makanan tradisional. Permohonan tersebut diputuskan oleh dewan dengan memperhatikan beberapa masukan dari Komisi Pasar tanggal 9 Juni 1913 ¹.44a, Direktur Proyek Kota tanggal 8 Mei 1913 ¹.152/11 dan Ketua Dewan Kotapraja tanggal 16 Juni 1913 ¹.133 (1913:90). Hasil pembahasan disampaikan kepada pemohon bahwa Pasar Pedamaran Lor yang terletak tidak jauh dari tempat yang dihuninya, masih menyediakan lahan yang
memadai untuk penjualan yang dimaksud Sadeli.
          Komisi Pasar mengabulkan permohonan itu karena rumah Sadeli terletak dekat Pasar Pedamaran Lor. Jarak rumah Sadeli ke pasar ini kira-kira seperempat paal. Direktur Proyek Kotapraja merasa keberatan terhadap disetujuinya permohonan, karena warung itu akan berada di atas saluran air. Van der Waag telah mengadakan suatu penyelidikan dan Van der Waag menyatakan bahwa Sadeli hanya ingin memasang sebuah meja di atas saluran air. Kalaupun ditemukan genangan air di saluran tersebut disebabkan adanya kotoran yang berasal dari saluran kampung. Van der Waag telah mengadakan penyelidikan bahwa penduduk di sekitar jika memerlukan sesuatu barang pada petang hari, tidak perlu harus berjalan sejauh seperempat paal agar bisa mencapai pasar, apalagi pada petang hari pasar sudah tutup. Inilah argumentasi yang disampaikan anggota dewan terhadap dikabulkannya permohonan Sadeli. Sementara Ketua dewan mengatakan bahwa Sadeli bisa mengelola warung di
rumahnya, tanpa harus mendirikan bangunan di luar lahan rumah.
           Berdasarkan masukan dari Komisi Pasar tanggal 24 Juli 1913 ¹.62a dan Ketua Dewan tanggal 21 Agustus 1913 ¹.165, maka permohonan Soetosarwi yang tinggal di kampung Gabahan untuk membuka warung di jalan sepanjang stasiun pusat ditolak oleh dewan. Penolakan itu didasarkan pada
pertimbangan bahwa Pasar Karangbidara Kulon yang terletak di dekatnya masih menyediakan tempat untuk kedai penjualan bagi Soetosarwi. Van der Waag menyatakan dengan tegas menolak usul itu. Warung ini akan didirikan di dekat stasiun pusat, kira-kira seperempat paal jaraknya dari Pasar Karangbidara. Jika permohonan itu tidak dikabulkan, maka tenaga kerja di stasiun tidak akan memiliki warung. Konsep keputusan ini ditolak denan 11 berbanding 3 suara yaitu dari Westerveld, Wirjokoesoemo dan Buurman. Ketua berkata bahwa dia mengusulkan agar Dewan menolak surat permohonan ini dengan adanya nasehat dari Komisi Pasar. Bila dewan terbukti tidak menyetujui cara pandang Komisi Pasar itu dan pada pembicara tidak ada keberatan sebagai kepala pemerintah daerah terhadap pemberian ijin tersebut, pembicara dalam rapat berikutnya akan menyerahkan konsep keputusan kepada dewan mengenai penggunaan tanah kotapraja bagi penempatan warung.
             Dalam keputusan dewan tanggal 14 Juni 1912, Komisi Pasar diberi wewenang untuk membangun sebuah los pasar di atas lahan yang telah diberikan oleh pemerintah. Untuk kepentingan itu disediakan dana sebesar f 10.000. Pada awalnya (tahun 1903) tujuan penyediaan lahan ini bersifat sementara, sambil menunggu pembangunan sebuah pasar sentral di lahan tersebut. Namun ada pertimbangan bahwa yang namanya pasar sentral, tentunya didirikan di pusat kota. Padahal di pusat kota sudah ada Pasar Pedamaran yang sangat ramai. Di samping ada kemungkinan bisa diperoleh lahan luas untuk membangun pelataran pasar di belakang Pasar Pedamaran Lor. Karenanya Komisi Pasar memutuskan untuk mengusulkan kepada dewan kota agar menyediakan los-los pasar sementara di Bugangan bagi pembangunan “pasar lokal”, bukan “pasar sentral”.
          Pertimbangan yang mengemuka untuk membuka pasar baru (pembangunan “pasar lokal”) di Bugangan antara lain : pertama, Pasar Ambengan terlalu kecil, sekalipun mudah dicapai dari berbagai kampung. Kedua, terbukti di sepanjang jalan raya sebelah utara dan selatan Pasar Ambengan nampak banyak penjual, dikarenakan terjadi kekurangan lahan untuk bisa memberikan tempat bagi semua penjual.
          Los-los baru di Bugangan menawarkan ruang yang memadai dengan lahan seluas 1920 M2, terdiri atas los pasar 1020 M2 dan lahan pasar terbuka 900 M2; sementara los yang terdapat di Pasar Ambengan hanya seluas 240 M2. Demikian halnya untuk tempat pedati di Bugangan bisa disediakan, yang di Ambengan sama sekali tidak ada lahannya. Penggunaan los-los di Pasar Bugangan tidak merugikan penjual, megingat retribusi yang dipungut oleh pihak kotapraja jauh lebih rendah daripada retribusi di lahan milik orang-orang swasta yang terdapat di sepanjang jalan atau di depan rumah.
          Pembangunan los tersebut oleh Dinas Proyek Kotapraja dianggarkan sekitar f 10.000. Tingginya harga kayu menjadi penyebab jumlah ini tidak memadai. Batas minimal harga ditetapkan sebesar f 12.900. Komisi menduga harus memenuhi jumlah ini karena harga lebih rendah tidak bisa
ditekan lagi. Pada tahun dinas 1912 kepada pemborong dibayarkan dana sebesar f 5863,50 sehingga pada tanggal 1 Januari 1913 masih akan dibayarkan lagi sebesar f 7036,50. Bebagai perbaikan yang dilakukan seperti: pembukaan jalan, pengelolaan tempat pedati menurut Dinas Proyek Kota dianggarkan serjumlah f 56.628. Untuk penerangan (pembukaan) masih diperlukan dana sebesar f 400. Untuk menyediakan los (pemasangan kincir angin di atap) disediakan dana f 500; untuk pembangunan sebuah rumah dinas bagi kepala pasar diperlukan f 600.
              Pada tahun dinas 1913 disediakan dana pembangunan sebuah pasar baru (pasal 81) sebesar f 6486; penyusutan pasal 80 anggaran pada pasal 81 (dengan f 5000, untuk pasal 80 bisa dipenuhi) sebesar f 5000. Pemasukan selama tahun 1913 ditafsirkan sebanyak f 36 ribu. Namun jumlahnya pada tahun 1912 mencapai f 32.754,35 ½ dan sejak itu terus mengalami kenaikan sehingga selama tahun 1913 bisa diperhitungkan penerimaan di luar anggaran sebesar f 6000. Pada tahun 1912 penghasilan pasar berjumlah f 43.754,35 sementara pengeluaran f 31.193; selisih yang ada di anggaran tahun 1913 bisa dituliskan f 12.561,35; sehingga harus ditemukan jumlah f 35.117,14.
           Seluruh proyek itu baru bisa diselesaikan pada tahun 1914, sehingga dana yang tersedia selama tahun dinas dapat digunakan bagi pembangunan pasar baru. Pada anggaran tahun 1914 yang diajukan, selisih antara pemasukan dan pengeluaran mencapai f 19.760 pada pos “pembaharuan dan perbaikan pasar” dengan tujuan untuk bisa menggunakan dana ini pertama-tama bagi pembangunan sebuah pasar baru di Peterongan. Dengan pengajuan anggaran ini, Komisi berpendapat bahwa sarana yang tersedia selama tahun dinas 1913 tampaknya memadai untuk menyelesaikan pasar Bugangan. Apabila hal itu tidak terjadi, sebagian besar jumlah yang disebutkan di atas harus digunakan bagi Bugangan dan dana yang diperlukan bagi pembangunan pasar baru di Peterongan dengan cara lain harus diperoleh lewat pinjaman. Karena itu komisi kita mengusulkan untuk menyediakan dana sebesar f 17.l617 dari pos anggaran tahun 1914 pada pos “pembangunan pasar baru”. Masih ditemukan dana sebesar f 35.117,14 – f 17.617,14 atau f 17.500.
          Komisi Pasar menduga (806) bahwa tidak ada keberatan terhadap penggunaan dana ini sementara dari uang yang tersedia bagi pemasangan riol dan menetapkan bahwa dari pendapatan pasar tahun 1915 dana sebesar f 17500 telah ditambah dengan bunga 4 ½ persen disetorkan kembali
ke kas kotapraja. Kondisi usaha pasar yang setiap tahun mendapatkan lebih banyak pemasukan daripada pengeluaran, sepenuhnya mendukung keputusan ini, terutama juga karena dalam pembukaan pasar baru penghasilan akan naik. Jika usul Komisi Pasar diterima, maka kotapraja akan memiliki pasar yang lebih kaya, yang pasti sangat menonjol dibandingkan pasar-pasar lain. Bangunan yang tinggi, luas dan segar udaranya, mudah dibersihkan dan letaknya strategis, semua itu memenuhi
kebutuhan. Setelah kunjungan Komisi Pasar ke Singapura guna mempersiapkan pembangunan infrastruktur pasar baru Peterongan. Komisi Pasar yakin bahwa dewan menyetujui usul ini dan memberikan pertimbangan untuk memutuskan.
           Komisi Teknik, Beukema menyatakan bahwa di depan kios karcis pada setiap lahan pasar akan dirancang sebuah jalan dengan lebar kira-kira 5 meter, yang bisa dimanfaatkan jika pasar memerlurkan perluasan. Demikian pula disiapkan ruang dalam los pasar untuk tempat penjualan yang lebih besar serta jalan masuk selebar 5 meter. Ukuran minim jalan dirancang dengan lebar 1,50 meter jalan masuk antara tempat penjualan di lahan pasar terbuka dan 1,75 meter di sekitar tempat tinggi di sepanjang tembok. Kamar mandi yang termasuk kompleks pasar letaknya kurang menguntungkan jika terjadi perluasan pasar.
           Angota dewan, Stuurman mempertanyakan apakah Pasar Bugangan letaknya menguntungkan bagi pengunjung pasar, mengingat pasar ini didirikan dekat sawah (1913:810). Stuurman berargumen bahwa di mana-mana pasar terletak dekat jalan raya, bukan di tengah sawah. Jika pasar berada di tengah sawah, mampukah menarik banyak pengunjung. Saran yang diberikan agar Komisi Pasar pergi ke Singapura untuk melakukan studi banding, bahkan Stuurman berani mempertaruhkan kursinya dalam dewan, bahwa Komisi Pasar di Singapura tidak akan menemukan sebuah pasar berada di tengah sawah. Oleh karenanya Stuurman tidak bertanggungjawab bila menyediakan biaya f 75.000 bagi pasar ini.
          Sementara anggota dewan lainnya, Buurman menyampaikan kepada Stuurman bahwa pasar itu terletak di dekat kompleks perkampungan. Selain itu letaknya berada di ujung jalann dan cukup strategis, membentang melalui Banjirkanal barat serta banyak pengunjung pasar setiap hari melalui daerah itu. Stuurman tetap berpandangan lebih baik memperlebar pasar di Ambengan, karena dengan perpindahan pasar Ambengan akan sangat merugikan bagi penduduk pribumi. Pasar Ambengan dipindahkan ke sebuah lahan yang berjarak tidak jauh dari tempat semula. Bukan hanya ada sebuah jalan kampung dari Ambengan ke Bugangan yang menjadi jalan masuk ke pasar baru, tetapi juga dari kampung Cina mudah dicapai. Los-los yang dibangun di Bugangan telah dirancang sedemikian rupa, sehingga jika diperlukan setiap saat bisa diperluas. Kotapraja juga memiliki sebuah lahan pasar luas yang saat itu diserahkan untuk dikelola atas permohonan dewan.
          Westerveld menyebutkan seperti di samping jalan Banjir Kanal Barat dan Karangasem didirikan gudang-gudang. Komisi Pasar beberapa waktu sebelumnya meminta Direktur Proyek Kotapraja untuk memberi pertimbangan tentang pendirian gudang di dekat kanal pelabuhan, tetapi sampai tahun 1913 Komisi Pasar belum menerima jawaban. Menyikapi situasi ini, Westerveld sebagai ketua Komisi Pasar tidak menyalahkan dinas proyek kota, dikarenakan kekurangan pegawai sehingga tidak cukup waktu untuk pekerjaan ini. Mengenai pendirian gudang tersebut, Westerveld juga tidak merasa keberatan karena kepentingan pasar kota tidak terlibat.
          Pihak swasta sejak tahun 1914 mengusulkan kepada pemerintah untuk mulai mendirikan sebuah pasar hewan di lahan milik pemerintah. Namun dikarenakan sebuah pasar hewan di Semarang tidak mampu menunjukkan eksistensinya, maka usul itu tidak direalisasikan. Akan tetapi pada tahun 1915 Pemerintah Kotapraja Semarang memberi kesempatan untuk membangun lahan terbuka di samping Pasar Bugangan untuk tempat perdagangan kambing dan hewan lainnya.
SIMPULAN
          Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah disinggung di atas, dapatlah disampaikan jawaban dari beberapa permasalahan. Pasar pada era kolonial (tahun 1873-1914) belum dikenal istilah “pasar tradisional”, sebagaimana yang sering kita jumpai untuk jenis pasar pemerintah pada dewasa ini. Sebutan yang sering mengemuka untuk jenis kepemilikan kala itu adalah “pasar kotapraja” dan “pasar partikelir”. Namun demikian kedua jenis kepemilikan pasar tersebut, merupakan muara dari aktivitas jual beli yang menjadi simpul kemampuan hidup masyarakat setempat. Hanya saja pembedanya terletak pada aspek kebersihan, keamanan dan kenyamanan didominasi oleh pasar kotapraja atau pasar pemerintah. Kondisi demikian jarang bisa ditemukan pada
jenis pasar partikelir.
          Pasar sebagai penanda peradaban yang memiliki sejarah panjang telah mampu menunjukkan sebagai bukti dari realisasi perubahan zaman. Berbagai keputusan yang dikeluarkan oleh dewan kota terkait dengan eksistensi pasar lebih dulu dilakukan pembahasan. Pembahasan didasarkan pada analisa kondisi sosial ekonomi masyarakat, layak tidaknya suatu pasar baru akan didirikan di suatu lokasi tertentu dan sebagainya.
          Pasar Kotapraja maupun pasar partikelir di Kotapraja Semarang periode 1873-1914, sebagaimana scope temporal penelitian ini sudah mampu memperlihatkan sebagai cerminan kehidupan sosial ekonomi dalam sebuah masyarakat. Di samping sebagai ladang penghidupan bagi para pedagang/penjual beserta komunitas pasar lainnya (kuli angkut, tukang sapu dan penjaga), pasar-pasar di kota ini juga telah merajut jaringan ekonomi masyarakat yang sangat luas. Mulai dari produsen hasil bumi/petani, penghasil kerajinan, pedagang perantara.
           Akan tetapi yang perlu digarisbawahi adalah apapun bentuk regulasi pasar, nuansa kolonialisme tidak mampu dihindarkan. Pemerintah Kotapraja Semarang yang dengan mayoritas anggotanya berkebangsaan Eropa telah menyadari betul bahwa potensi pasar mampu dijadikan akses untuk meraih simpati rakyat pribumi. Upaya yang dapat dilakukan misalnya tentang lahan untuk pedati yang memadai, penataan los-los pasar yang teratur, selalu menjaga kebersihan, keindahan, kenyamanan dan keamanan. Ini semua merupakan indikator dari revitalisasi yang diupayakan oleh Pemerintah Kotapraja Semarang. Apapun motif revitalisasi pasar era kolonial, yang jelas implementasi dari hasil pembahasan untuk pembenahan dan pemberdayaan pasar tidak hanya sebatas
perbaikan kondisi fi sik. Namun juga lebih dilihat fungsi sebagai ruang khalayak yang melayani kepentingan sosial masyarakat.

DAFTAR RUJUKAN
Gemeenteblad uitggeven voor Rekening

0 komentar:

Posting Komentar