EKSISTENSI
PASAR-PASAR TRADISIONAL
DI
KOTA SEMARANG TAHUN 1873 – 1914
Putri
Agus Wijayati
Jurusan
Pendidikan Sejarah FIS Unnes
Abstract
Since
1873 can be regarded as the beginning of growth and development of traditional
market
significantly in Semarang. The deadline was set in 1914, based on the 30 April 1914
Besluit No.379 of decentralized
market businesses submitted to the local council (city council). Above
conditions, led to problems
including: the form of regulation, market management and the government’s
revitalization of the
markets in Semarang. Since decentralization, the delegation obtained Semarang
Municipal obligations in
managing public facilities including care and repair and even build a set of
market infrastructure. Until the
year 1910 the market management in Semarang are still under the direct
supervision of the colonial government.
Revitalization evidenced by an increase in the quality and infrastructure
through discussion at city
council level. Various efforts related to the revitalization of the market
almost all the elements to give her
attention. Technical Committee started, City Project Director, Chairman of the
City Council, Member of
the Council, the Commission indicates the involvement of all markets is
intense. Revitalization of the whole
market began to be realized from the building and management system. Not just
action for the order,
cleanliness, security, cleanliness, health, but the administration and
supervision of fi nancial markets means
the attention of many parties. Order of the occupation has given a lot of
positive infl uence in the development
of markets empowerment in Semarang and of course can be used as a source of
learning. Irrespective
of political background surrounding the economic-colonialist interests.
Key
words: Eksistention, traditional market, decentralization
PENDAHULUAN
Alasan
memilih topik ini didorong oleh ketertarikan
terhadap beberapa persoalan yang
melingkupi pasar tradisional pada kondisi
saat ini. Mulai dari masalah kondisi fisik maupun non fisik. Dalam pemikiran selanjutnya,
peneliti lebih terdorong untuk memotret
revitalisasi pasar tradisional dengan
cakupan tahun 1873 - 1914. Scope temporal
penelitian diawali pada tahun 1873, didasarkan
pertimbangan bahwa pemerintah kolonial
Belanda mengeluarkan keputusan menganggap
penting perdagangan domestik kecil
sehingga di semua titik perdagangan dan pemukiman
penduduk akan dibangun pasar (Kolonial
Tijdschrift, 1913:1095). Adapun batasan
akhir penelitian ini ditetapkan pada
tahun 1914, dengan alasan yang bisa dikemukakan
bahwa pada tahun itu Gubernur Jendral
Hindia Belanda mengeluarkan besluit
tertanggal
30 April 1914 No.379. Besluit
Decentralisatie Marktwezen tentang penyerahan
lembaga pasar kepada dewan lokal,
yang dimuat dalam Staatsblad 1914 No.
380, peraturan itu diberlakukan untuk seluruh
Jawa dan Madura, termasuk Kotapraja Semarang.
Permasalahan
yang perlu dikemukakan adalah
bagaimana revitalisasi yang dilakukan pemerintah
terhadap pasar tradisional,mengingat
eksistensi pasar, khususnya yang tradisional
merupakan salah satu indikator paling
nyata dari aktivitas pemberdayaan ekonomi
kerakyatan.
Hasil
penelitian ini ditujukan untuk menemukan
pola , model , maupun memberikan
solusi pengembangan dan peningkatan
kualitas serta infrastruktur pasar tradisional.
Seperti diketahui bahwa pasar tradisional
merupakan salah satu relung kehidupan
yang sangat penting karena potensi
strategis sebagai infrastruktuer ekonomi
daerah dan pusat pemasaran yang menggambarkan
denyut nadi perekonomian rakyat
kebanyakan.
Berhasilnya
penelitian ini diharapka mampu
memberi kebermanfaatan secara teoretis
maupun pragmatis. Manfaat teoretis di
antaranya bisa dijadikan bahan kajian yang berguna
agar eksistensi pasar-pasar tradisional yang
saat ini mulai terpinggirkan, segera berbenah
untuk menghadapi persaingan yang semakin
berat dengan kehadiran pasar modern. Dalam
segi pragmatis: menyumbangkan wawasan
berpikir kritis bahwa pembenahan dan
peningkatan kualitas pasar beserta
infrastrukturnya
bukan hanya tanggung jawab
pemerintah semata, melainkan perlu
dukungan kelompok-kelompok yang terlibat
dalam kegiatan di pasar. Pada masa mendatang,
bisa dilakukan penelitian sejenis sebagai
tindak lanjut dari penelitian ini. Tiada
lain untuk memahami kecenderungan
dari
fenomena sosial, apakah peran serta pemerintah
yang intensif dalam melindungi pasar
tradisional serta mengatur kehadiran pasar
modern sudah bisa dijadikan jawaban dari
eksisnya pasar tradisional yang menjadi tempat
pembibitan jiwa kewirausahaan dalam bentuk
yang sederhana.
METODE
PENELITIAN
Penelitian
mengenai pasar tradisional di
Kota Semarang periode 1873-1914
bertumpu
pada sumber tekstual yang diperoleh
melalui teknik “observasi tidak langsung”. Keistimewaan data verbal ialah
dapat mengatasi ruang dan waktu sehingga
membuka kemungkinan bagi penelitian
untuk memperoleh pengetahuan mengenai
fenomena sosial yang telah musnah
(Kartodirdjo,
1982:98). Kumpulan data verbal
yang berbentuk tulisan atau sering juga
disebut “dokumen dalam arti sempit”dimanfaatkan
untuk memperoleh informasi tentang
konsep dan model revitalisasi pasar-pasar tradisional
di Kotapraja Semarang.
Langkah
berikutnya melalui proses analisis
tektual dan analisis kontekstual dalam
menguji otentisitas, kredibiltas dan derajad
akurasi data sejarah. Hal ini untuk mempelajari
keterkaitan antar sumber-sumber yang
relevan, di samping melakukan penelitian
intrinsik terhadap isi sumber untuk menentukan
sifat informasi yang diberikan. Model
analisis tekstual dan kontekstual diperlukan
untuk mendapatkan kepastia apakah
record sources mampu memberikan kesaksian
menyangkut berbagai persoalan yang
menjadi obyek penelitian ini. Analisis fakta
interpretative dan pendekatan kualitatif yang
bersifat induktif untuk menemukan saling
keterkaitan antar fakta. Adapun pendekatan
kualitatif induktif dimaksudkan untuk
menarik kesimpulan, teori dan konsep dari
berbagai data rinci yang ditemukan (Barney,
1994:17-20).
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Model
eksploitasi ekonomi yang diberlakukan
oleh pemerintah kolonial Belanda
sejak 1870 dengan sistem liberal atau
lebih dikenal dengan sebutan “Politik Pintu
Terbuka” merupakan suatu hal yang sangat
penting dalam perkembangan kota dan
perdagangan (Wertheim, 1956: 151). Semarang
sebagai salah satu kota kolonial, yang
sejak pertengahan abad XVIII, tepatnya dari
tahun 1743 sampai 1808 ditetapkan sebagai
pusat pemerintahan wilayah Pantai Timur
Laut Jawa memiliki potensi cukup strategis
dalam pengembangan perdagangan. Sekalipun
harus diakui bahwa pada periode ini
pun, Kumpeni bukan merupakan suatu
bentuk “pemerintahan”. Akan tetapi dikarenakan
begitu kuatnya intervensi yang
dijalankan terhadap penguasa Jawa, sehingga
beberapa daerah menjadi berada di
bawah “kekuasaan” Kumpeni, sebagai kompensasinya,
termasuk wilayah Semarang.
Atmosfir kolonialisme lebih nyata pada awal
abad XIX, ditandai dengan bangkrutnya Kumpeni
dan lahirnya bentuk penjajahan baru
dalam wujud “Pemerintah Kolonial Hindia
Belanda”. Namun demikian, terlepas dari
susunan politik ekonomi kolonialisme, Jawa
yang sempat kehilangan tradisi dan pengalaman
perdagangannya semasa pemerintah
Sultan Agung, menjadi bergairah lagi.
Utamanya simpul jaringan ekonomi perdagangan
dari pedalaman Jawa bagian tengah
maupun perdagangan lokal, yang akan melibatkan
kelompok wirausaha pribumi dalam
skala kecil atau sederhana (pedagang pribumi
di pasar).
Seiring
perkembangan ekonomi liberal, aktivitas
perdagangan di Semarang tidak dapat dilepaskan
dari pola dasar perkembangan kota
ke arah pembangunan kawasan. “Kota Benteng”
sebagai julukan yang diberikan kepada
Semarang, memiliki jalinan jalan yang
teratur sebagai jalur lalu lintas yang cukup
ramai, yakni de Heerenstraat (sekarang
Jalan Letjen Suprapto), de Huis
Straat,
de Bloem Straat, dan de Burg Straat (Dinas
Pariwisata & Kebudayaan Kab. Semarang,
2007: 65). Di samping sarana infrastruktur
tersebut, masih didukung oleh
keberadaan berbagai fasilitas kota
kolonial,
berupa jalan kereta api, gedung pemerintah
(kantor Pemerintah Kotamadya di
Jl. Pemuda), CBZ (Centrale Burgelijke Ziekenhuis
yang
pada jaman pendudukan Jepang
berubah nama menjadi rumah sakit Purusara
atau sekarang menjadi RS Karyadi dan
RS Elizabeth), pelabuhan, titik-titik pertemuan
untuk melaksanakan transaksi perdagangan
lokal atau disebut pasar.
Pasar
di kota Semarang terbagi dalam beberapa
tingkatan atau kategori, tergantung fungsi
dan peranan yang berlaku pada pasar yang
bersangkutan. Kategori pertama, dinamakan
pasar sentral atau pasar induk atau
bisa juga disebut pasar besar, tempat berlangsungnya
transaksi jual beli dalam
skala
besar (grosir, tempat para distributor/agen
mendapatkan barang dagangan) untuk didistribusikan
ke pasar tingkat menengah dan
pasar kecil atau pasar lokal. Pasar Johar di
Semarang termasuk dalam kategori jenis ini,
karena selain berfungsi sebagai tempat transaksi
pedagang dari berbagai suku bangsa,
sekaligus juga dimanfaatkan sebagai gudang
penimbunan barang perdagangan. Ada
pula yang dinamakan pasar lokal atau pemerintah
kolonial Belanda menyebutnya pasar
domestik kecil, yang sebagian besar kegiatannya
menangani perdagangan eceran dalam
arti penjualan barang-barang keperluan hidup
primer sehari-hari. Pasar jenis ini diantaranya:
Pasar Pedamaran Kidul, Pasar Pedamaran
Lor, Pasar Karang Bidara, Pasar Ambengan,
Pasar Bugangan, Pasar Bulu (Gedenboek
der Gemeente Semarang: 181).
Didasarkan
pada penelitian yang telah
dilaksanakan, diperoleh berbagai sumber
atau data sejarah yang memberikan informasi
mengenai segala hal yang bisa digunakan
untuk menunjukkan benang kait dengan
revitalisasi pasar-pasar di Kotapraja Semarang
periode kolonial, lebih tepat lagi
antara
periode 1873 hingga 1914. Adapun hasil
penelitian yang bisa dikemukakan disini
antara lain sebagai berikut. Satu hal penting
terkait dengan jenis pasar lokal dalam
hal ini regulasi yang dikeluarkan oleh
pemerintah kolonial. Dalam Kolonial Tijdschrift
dengan
pokok pembicaraan “Het
en
ander over het ‘Pasar’ of Marktwezen in de Gouvernementslanden
op Java en Madoera” diperoleh
informasi yang menyatakan pemerintah
kolonial mengeluarkan kebijakan. Kebijakan
yang dikemas dalam keputusan ¹. 37
tahun 1873 tertanggal 15 Juli menyatakan bahwa
“pemerintah menganggap penting perdagangan
domestik kecil, sehingga di semua
lini atau titik perdagangan perlu dibangun
sebuah “pasar” (1913:1095).
Hampir di semua tempat - tempat pertemuan
perdagangan didirikan pasar dan los
pasar, namun sampai menjelang akhir abad XIX
masih dalam kondisi buruk sehingga perlu
adanya pemikiran untuk perbaikan secara
menyeluruh. Sampai kira-kira desenia pertama
awal abad XX, tepatnya tahun 1910 pengelolaan
pasar di Semarang sebagian besar
masih berada di bawah pengawasan langsung
pemerintah kolonial, termasuk beberapa
los-los pasar di beberapa tempat.
Di
samping itu juga dijumpai bangobangoyang
didirikan oleh pihak swasta atau orang-orang
tertentu dan pembayaran sewa untuk
penggunaan sebuah bango berkisar antara
1 sampai 5 sen yang dibayarkan pada
setiap hari pasaran (Onderzoek naar de Mindere
Welvaart der Inlandsche Bevolking
op
Java en Madoera VI, ,1909 : 219). Bagi pedagang
kecil, pembayaran sewa itu dianggap memberatkan.
Untuk menghindarinya, tidak sedikit
pedagang yang membangun bango sendiri
guna memperingan biaya. Terdapat usulan
agar pendirian los-los pasar dilakukan oleh
pemerintah dengan cara pengambilalihan semua
lahan pasar beserta bango atau kedai. Sementara
itu, juga terdapat tuntutan untuk pengaturan
pungutan atas pasar. Untuk membersihkan
sampah, ada istilah uang sapon
atau
pesapon yang harus dibayar oleh setiap
pedagang sebesar ½ sampai 1 sen kepada
tukang sapu yang sekaligus bertindak sebagai
penjaga pasar (1909 : 219).
Eksistensi
pasar-pasar tradisional di Kota
Semarang menunjukkan perkembangan dan
pertumbuhan yang sangat berarti sejak diberlakukannya
desentralisasi sebagai berikut.
Regulasi atau peraturan yang dibuat oleh
pemerintah kolonial sejak tahun 1906 mengalami
perubahan. Dalam arti pelimpahan wewenang
dari pemerintah pusat di Batavia diserahkan
kepada Kotapraja Semarang, terkait
dengan politik desentralisasi yang memberikan
otoritas untuk mengembangkan daerah
masing-masing. Dalam Algemeen Gemeenteblad
tanggal
15 Juni 1907 ¹. 50 yang
dimuat dalam Koloniaal Tijdschrift dinyatakan
keberadaan lembaga pasar merupakan
awal dari langkah kotapraja yang semakin
kuat untuk memikirkan kehidupan penduduk
pribumi, Timur Asing, Cina dan Arab.
Hal ini dikarenakan masyarakat umum dalam
berbagai hal tentunya berhubungan dengan
lembaga pasar yang teratur. Ditinjau dari
sudut pandang usaha perdagangan diantaranya
keamanan, kebersihan, keuangan kotapraja,
pencegahan pencurian dan tindak pemerasan,
maka untuk menjaga semua itu dirasa
perlu kehadiran sebuah “lembaga pasar”
(1913:1097).
Kehadiran
sebuah lembaga pasar yang teratur
untuk menangani kepentingan penjualan
hasil pertanian, peternakan, hasil kerajinan
dan berbagai kebutuhan masyarakat lainnya.
Melalui desentralisasi, diharapkan upaya
berbagai perbaikan seperti pungutan pasar
bisa berlangsung secara rutin, namun tidak
memberatkan penduduk. Hal itu menunjukkan
bahwa perhatian pemerintah kolonial
terhadap kondisi pasar domestik demikian
besar, sekalipun tidak bisa diingkari bahwa
kepentingan penguasa kolonial juga terlibat
didalamnya.
Wajar
apabila lembaga pasar di kota-kota Hindia
Belanda menduduki posisi yang
sangat penting. “Usaha pasar” bagi Kotapraja
Semarang termasuk salah satu upaya
yang menjanjikan dalam meningkatkan pendapatan.
Bisa dikatakan bahwa usaha pasar
bersumber pada konteks Kotapraja dan
terkait dengan adanya kebutuhan dan kepentingan
penduduk Semarang. Hampir seluruh
daerah atau wilayah Hindia Belanda, tidak
ada kota yang lembaga pasarnya tidak
diatur oleh pemerintah. Tujuan yang ingin
dicapai kotapraja dengan pengaturan lembaga
pasar, pada mulanya tidak ditujukan untuk
mencari keuntungan, namun terutama untuk
memperbaiki kondisi pasar dan memperhatikan
kesehatan rakyat setempat.
Melalui
pencabutan pasal 50 peraturan lokal
dan membuat peraturan tentang pemungutan
yang dimuat dalam Bijblad (Lembaran
Tambahan) . 7221, dinyatakan bahwa
aturan-aturan yang menyangkut pajak umum
tidak boleh dicampur dengan pungutan. “Pajak”
yang dimaksud sebagaimana pasal 58
peraturan pemerintah, yaitu penyetoran berupa
uang untuk kepentingan masyarakat dan
jumlahnya ditetapkan oleh penguasa serta
wajib dibayar oleh penduduk. Adapun yang
dimaksud “retribusi” adalah pembayaran yang
dibebankan untuk mengganti jasa-jasa khusus
yang disediakan oleh negara kepada yang
memintanya seperti uang lahan, sewa gudang,
pembayaran untuk kebersihan pasar.
Hak dari pihak ketiga dibeli dalam arti
kata pengambilalihan pasar partikelir dan pengelolaan
administrasi serta pengawasan atas
sarana keuangan pasar.
Berbagai
kebijakan untuk perbaikan pasar
ditetapkan dalam peraturan pasar oleh dewan
lokal (Kol. Tijd. 1913 :1096). Namun perlu
diketahui dalam hal ini, ternyata pemerintah
kolonial masih melakukan kontrol terhadap
aktivitas yang sudah diserahkan kepada
pemerintah kotapraja, yaitu beberapa pasar
yang pengelolaannya diserahkan kepada dewan
lokal berada di bawah pengawasan Komisi
Eropa.
Tugas
dan tanggung jawab kepala pasar dituangkan
dalam sebuah instruksi yang terdapat
pada Algemeen Gemeenteblad 1907 antara
lain berbunyi: seorang kepala pasar akan
diangkat dengan wewenang menjaga keamanan
dan mempunyai kewajiban yang sangat
luas, akan memperoleh penghasilan setiap
bulan, mendapat tugas administrasi dalam
hal pungutan uang. Kepala pasar tidak mengelola
penghasilan pasar sendiri, karena retribusi
harus disetorkan ke bank daerah.
Bagi
para penjual tetap, pungutan dilakukan
setiap bulan atau setiap kuartal dengan
pembagian kartu dan bagi penjual musiman,
pungutan dilakukan setiap hari pasaran.
Los-los pasar terutama yang permanen
dilengkapi nomer dan nama penyewa
(1913 :1105-1106). Pendapatan atau
penghasilan
pasar diperoleh dari retribusi, yang
sebagian berasal dari uang sewa gudang
dan lahan, setelah dipotong berbagai pengeluaran
untuk gaji, biaya perawatan dan perbaikan
pasar. Semua pasar-pasar di Jawa dan
tentu saja Kotapraja Semarang termasuk dalam
ketentuan ini harus berada di bawah pengelolaan
langsung kotapraja.
Pengelolaan
Pasar-Pasar Di Kota Semarang
Pada
tanggal 30 Oktober 1912, Perusahaan Dagang
di Semarang mengajukan permohonan kepada
Komisi Pasar mengenai pengelolaan bersama
Pasar Johar. Permohonan itu mendapat
tanggapan Ketua Komisi Pasar, D.J.A.
Westerveld melalui surat tanggal 12
Desember 1912 .168 (Notulen van het Verhandelingen
in de Vergaderingen van den Raad
der Gemeente Semarang in 1913). Pada dasarnya
Komisi Pasar bisa memahami bahwa diantara elemen yang terlibat dalam transaksi perdagangan
di Pasar Johar, baik para pedagang/penjual,
para pembeli, penyewa los
pasar telah terjalin hubungan yang sangat akrab.
Mereka merasa keberatan terhadap permohonan
yang diajukan oleh Perusahaan Dagang
di Semarang untuk mengelola pasar tersebut.
Komisi
Pasar memberi masukan kepada
Dewan Kota bahwa “pengelolaan bersama
pasar tersebut” akan menimbulkan terganggunya
hubungan yang sudah terbentuk. Pasar
Johar, sekalipun pengelolaannya masih berada
di pihak partikelir namun telah menyatu
dan memiliki tempat penting dalam kehidupan
masayarakat. Bagi masyarakat Semarang
Pasar Johar bukan sekedar tempat bertemuanya
penjual dan pembeli. Lebih dari
itu, sebagai wahana interaksi sosial yang ditunjukkan
oleh perilaku warga pasar. Oleh karenanya
ketika persoalan itu dibicarakan dalam
rapat Komisi Pasar, ada tuntutan agar kotapraja
juga memperhitungkan prinsip keadilan
terhadap hubungan yang sudah terjalin
erat antar penghuni pasar. Untuk tujuan
itu, Komisi Pasar menyerahkan kepada
Dewan Kota tentang aturan-aturan peralihan
yang berhubungan dengan para penghuni
pasar Johar dalam batas-batas yang
menjadi hak prioritasnya. Sementara Perusahaan
Dagang di Semarang minta pertimbangan
Dewan Kotapraja untuk memutuskan
pengelolaan bersama Pasar Johar.
Pengelolaan tentang aturan terhadap penghuni
los di Pasar Johar, wajib mematuhi aturan
yang dibuat dan harus merawat los pasar
selama waktu yang telah ditetapkan.
Permohonan
J.F. Cramer Bornemann untuk
membuka 2 warung: satu di jalan Pedati dan
satunya lagi di perempatan Karangtempel-Pandeanlamper
yang akan digunakan sebagai tempat
penjualan limun dan rokok. Namun berdasarkan
nasehat Komisi Pasar tanggal 24
Oktober 1912. 88a dan Direktur Proyek Kotapraja
tanggal 13 Desember 1912. 275/11,
maka ditetapkan oleh dewan kota
bahwa
tempat di Jalan Pedati adalah milik firma Soesman dan bukan merupakan lahan yang
dikelola oleh kotapraja, demikian pula lahan
di Karangtempel-Pandeanlamper, maka permohonan
J.F. Cramer Bornemann untuk membuka
warung tidak bisa dikabulkan.
Sie
Jan Han yang tinggal di Plampitan Kranggan
mengajukan permohonan ijin membuka
warung di belakang Taman Kota di samping
restoran Oewa. Untuk menanggapi permohonan
itu, diadakan pembahasan antara Komisi
Pasar, Direktur Proyek Kota dan Ketua
Dewan Kotapraja. Didasarkan atas nasehat
Komisi Pasar tanggal 28 November 1912
¹. 95a, Direktur Proyek Kota tanggal 3
Januari 1913. 6/11 dan Ketua Dewan Kotapraja
Semarang tanggal 6 Januari 1913. 36,
maka diputuskan bahwa permohonan Sie
Jan Han tidak bisa dikabulkan (Notulen van
het Verhandelingen in de Vergaderingen van
den Raad der Gemeente Semarang in 1913:81).
Selanjutnya Pasar Pedamaran Lor yang
terletak di dekat tempat tersebut agar bisa
menyediakan tempat yang memadai untuk
kedai-kedai penjualan.
Pemungutan
tarip di berbagai pasar ditetapkan
dalam keputusan dewan tanggal 10 Pebruari
1911. Pasar Pedamaran Lor untuk los
sebelah utara 3 sen per m2, los selatan di Pasar
Pedamaran Tengah 2 sen per m2, los sisi
selatan Pasar Pedamaran Kidul 3 sen per m2,
los selatan Pasar Kranggan 2 sen per m2, los
selatan Pasar Jurnatan 2 sen per m2, los selatan
di Pasar Karangbidara 2 sen per m2, dan
los selatan Pasar Peterongan 2 sen per m2.
Lahan terbuka atau di luar los di pasarpasar itu
dikenakan tarip sebesar 1 sen per m2
(Verslag van den Toestand der Gemeente
Semarang
over 1912).
Dalam
keputusan dewan tanggal 30 Maret
1913 ditetapkan retribusi dipungut untuk
penggunaan tanah di Pasar Johar sebesar
1 sen per m2. Perhitungan jumlah anggaran
selama tahun 1911 sampai dengan 1914
seperti dalam Tabel 1.
Tabel
1. Perhitungan Jumlah Anggaran Selama Tahun 1911 sampai dengan
Dewan
Kota mempertimbangkan permohonan
Kastamah (penduduk yang tinggal
di Kampung Branci - Kebonsari) tentang
pengajuan ijin untuk membuka warung
di jalan Ambengan. Atas dasar
nasehat
Komisi Pasar tanggal 8 Mei 1913 ¹.40a,
Direktur Proyek Kotapraja tanggal 24 Mei
1913 ¹.180/11 dan Ketua Dewan tanggal 28
Mei 1913 ¹.235 (1913:386), diputuskan bahwa
Pasar Ambengan yang terletak di dekat sebidang
tanah yang penggunaannya diminta oleh
Kastamah masih menawarkan lahan yang
cukup untuk kedai penjualan, sehingga permohonan
itu dikabulkan oleh dewan.
Keputusan
dewan tanggal 2 Juli 1908 (Gemeenteblad
1908 ¹. 199 dan 220) menyatakan
bahwa pengelolaan lahan di Pasar Johar
dan Pekojan tidak akan diserahkan kepada
kotapraja. Persoalan ini belum bisa diselesaikan
oleh dewan sampai tahun 1916.
Pemerintah Kotapraja Semarang sejak
memperoleh pelimpahan wewenang mengelola
beberapa sarana publik (tahun 1906),
terutama yang sesuai dengan fokus pembicaraan
di sini yaitu pasar, telah menunjukkan
keseriusannya dalam menata dan
mengembangkan pasar. Langkah awal
perhatian
pemerintah kotapraja dibuktikan dalam
pembahasan di tingkat dewan, yang pada
gilirannya direalisasikan dalam wujud perbaikan,
pembaharuan atau bahkan penolakan
ijin pendirian sebuah warung,seperti
di bawah ini.
Ketua
Dewan Kotapraja Semarang, B. Coops
membicarakan dengan Komisaris Pemerintah
untuk bisa memperoleh gambar pasar
di Singapura guna mempersiapkan pembangunan
pasar-pasar baru di Kotapraja Semarang
(Gemeenteblad uitgegeven voor Rekening
der Gemeente Semarang 1912). Wewenang
diberikan kepada ketua dewan agar
memberitahu gubernur jendral dengan adanya
surat sekretaris pemerintah kepada konsul
jendral di Singapura tanggal 13 Desember
1911 mengenai permintaan gambar
pasar. Pada tanggal 1 Februari 1912 diterima
tembusan surat dari konsul jenderal
di
Singapura, yang menyatakan bahwa rancangan
gambar dan pengiriman cetak biru
bisa dikirim dengan pembayaran biaya ditafsir
sebesar f 280.
Pada
tanggal 30 Oktober 1912 Dewan Kota
mengadakan rapat membahas masalah lembaga
pasar dalam rencana anggaran selama
tahun 1913. Dalam hal ini Komisi Pasar
mengajukan usul kepada lembaga pasar
tentang pembangunan pasar sentral yang
besar, yang terletak di pusat kota. Sebelumnya
kotapraja tidak bisa menyetujui usul
pembangunan pasar sentral, namun demi
kepentingan beberapa kampung luar kotapraja
maka pasar sentral memang perlu dibangun.
Untuk maksud tersebut lembaga yang
ada perlu diperbaiki dan bahkan diperluas.
Rencana
pembangunan pasar sentral ditujukan
terhadap Pasar Peterongan yang letaknya
sangat strategis sebagai pasar lokal. Jika
pasar ini mampu memenuhi kebutuhan penduduk
Semarang bagian Tenggara, maka bukan
hanya perbaikan namun juga sangat diperlukan
perluasan, terutama pada sisi timur. Akan
tetapi sisi timur itu berupa persil-persil (sebidang
tanah untuk didirikan rumah) yang dihuni
oleh orang-orang pribumi dan sebagian besar
dibangun rumah papan dilengkapi lantai
ubin
merah. Apabila Kotapraja Semarang ingin
memiliki persil ini, maka pertama-tama perlu
menebus hak milik orang-orang pribumi dengan
tujuan untuk menjadikan tanah itu sebagai
tanah negara.
Komisi
Pasar dalam perundingannya menghasilkan
kesepakatan bahwa penghuni persil
bersedia melepaskan hak milik dan mengosongkan
persil dengan ganti rugi f 16.500.
Penyediaan dana senilai f 16.500 untuk
penebusan lahan seluas 2300 M2. Melalui
penebusan itu, maka pengelolaan akan
diserahkan kepada Kotapraja Semarang sebagai
lahan pasar.
Daftar
pemilik rumah yang terdapat di
belakang Pasar Peterongan (sisi timur) dengan
menyebutkan jumlah uang yang disepakati
untuk penebusan rumah dan hak milik
atas pekarangan, sebagai berikut.
Dewan
Kota mempertimbangkan permohonan
Kastamah (penduduk yang tinggal
di Kampung Branci - Kebonsari) tentang
pengajuan ijin untuk membuka warung
di jalan Ambengan. Atas dasar nasehat
Komisi Pasar tanggal 8 Mei 1913 ¹.40a,
Direktur Proyek Kotapraja tanggal 24 Mei
1913 ¹.180/11 dan Ketua Dewan tanggal 28
Mei 1913 ¹.235 (1913:386), diputuskan bahwa
Pasar Ambengan yang terletak di dekat sebidang
tanah yang penggunaannya diminta oleh
Kastamah masih menawarkan lahan yang
cukup untuk kedai penjualan, sehingga permohonan
itu dikabulkan oleh dewan.
Keputusan
dewan tanggal 2 Juli 1908 (Gemeenteblad
1908 ¹. 199 dan 220) menyatakan
bahwa pengelolaan lahan di Pasar Johar
dan Pekojan tidak akan diserahkan kepada
kotapraja. Persoalan ini belum bisa diselesaikan
oleh dewan sampai tahun 1916.
Signifikansi Pasar Tradisional
Pemerintah Kotapraja Semarang sejak
memperoleh pelimpahan wewenang mengelola
beberapa sarana publik (tahun 1906),
terutama yang sesuai dengan fokus pembicaraan
di sini yaitu pasar, telah
menunjukkan
keseriusannya dalam menata dan
mengembangkan pasar. Langkah awal perhatian
pemerintah kotapraja dibuktikan dalam
pembahasan di tingkat dewan, yang pada
gilirannya direalisasikan dalam wujud perbaikan,
pembaharuan atau bahkan penolakan
ijin pendirian sebuah warung, seperti
di bawah ini.
Ketua
Dewan Kotapraja Semarang, B. Coops
membicarakan dengan Komisaris Pemerintah
untuk bisa memperoleh gambar pasar
di Singapura guna mempersiapkan pembangunan
pasar-pasar baru di Kotapraja Semarang
(Gemeenteblad uitgegeven voor Rekening
der Gemeente Semarang 1912). Wewenang
diberikan kepada ketua dewan agar
memberitahu gubernur jendral dengan adanya
surat sekretaris pemerintah kepada konsul
jendral di Singapura tanggal 13 Desember
1911 mengenai permintaan gambar
pasar. Pada tanggal 1 Februari 1912 diterima
tembusan surat dari konsul jenderal
di
Singapura, yang menyatakan bahwa rancangan
gambar dan pengiriman cetak biru
bisa dikirim dengan pembayaran biaya ditafsir
sebesar f 280.
Pada
tanggal 30 Oktober 1912 Dewan Kota
mengadakan rapat membahas masalah lembaga
pasar dalam rencana anggaran selama
tahun 1913. Dalam hal ini Komisi Pasar
mengajukan usul kepada lembaga pasar
tentang pembangunan pasar sentral
yang
besar, yang terletak di pusat kota. Sebelumnya
kotapraja tidak bisa menyetujui usul
pembangunan pasar sentral, namun demi
kepentingan beberapa kampung luar kotapraja
maka pasar sentral memang perlu dibangun.
Untuk maksud tersebut lembaga yang
ada perlu diperbaiki dan bahkan diperluas.
Rencana
pembangunan pasar sentral ditujukan
terhadap Pasar Peterongan yang letaknya
sangat strategis sebagai pasar lokal. Jika
pasar ini mampu memenuhi kebutuhan penduduk
Semarang bagian Tenggara, maka bukan
hanya perbaikan namun juga sangat diperlukan
perluasan, terutama pada sisi timur. Akan
tetapi sisi timur itu berupa persil-persil (sebidang
tanah untuk didirikan rumah) yang dihuni
oleh orang-orang pribumi dan sebagian besar
dibangun rumah papan dilengkapi lantai ubin
merah. Apabila Kotapraja Semarang ingin
memiliki persil ini, maka pertama-tama perlu
menebus hak milik orang-orang pribumi dengan
tujuan untuk menjadikan tanah itu sebagai
tanah negara.
Komisi
Pasar dalam perundingannya menghasilkan
kesepakatan bahwa penghuni persil
bersedia melepaskan hak milik dan
Hak Milik Atas Pekarangan mengosongkan
persil dengan ganti rugi f 16.500.
Penyediaan dana senilai f 16.500 untuk
penebusan lahan seluas 2.300 m2. Melalui
penebusan itu, maka pengelolaan akan
diserahkan kepada Kotapraja Semarang sebagai
lahan pasar.
Daftar
pemilik rumah yang terdapat di
belakang Pasar Peterongan (sisi timur) dengan
menyebutkan jumlah uang yang disepakati
untuk penebusan rumah dan hak
milik
atas pekarangan, seperti Tabel 2.
Rencana
perluasan Pasar Peterongan yang dimuat
dalam surat Komisi Pasar tanggal 23 November
1912 ¹.181 disampaikan kepada Dewan
Kota. Bersama dengan Komisi Urusan
Keuangan, Ketua Dewan Kotapraja Van
der Ent mengusulkan kepada dewan agar
bisa mengadakan perubahan anggaran selama
tahun berjalan (tahun 1913). Pada anggaran
“pembaharuan dan perbaikan pasar”
perlu
ditambahkan anggaran pengeluaran “bangunan
baru” sehingga terjadi perubahan anggaran
dengan tambahan sebesar f 16.500 (1913:86).
Dalam keputusan dewan tanggal 20
Januari 1913, wewenang diberikan untuk menebus
hak milik persil seluas 2300 M2 yang
terletak di belakang Pasar Peterongan senilai
f 16.500.
Pada
tanggal 20 Desember 1912, ketua dewan
kota memutuskan bahwa Reksohardjo atas
permohonan sendiri diberhentikan dengan
hormat sebagai kepala pasar. Sebagai penggganti
diangkat Sontopawiro untuk jabatan
kepala pasar, sebelumnya pembantu kepala
pasar. Demikian halnya dengan surat
dari Komisi Pasar tanggal 25 Februari 1913
yang memuat usul agar kepala pasar Sastromoeljo
diberhentikan dengan hormat dari
dinas kotapraja. Untuk mengetahui informasi
mengenai sebagai kepala pasar mana
dan alasan apa kedua pejabat kepala pasar
tersebut diberhentikan, penulis belum bisa
menemukan data lebih jauBerkasberkas yang
masuk tanggal 27 Juni 1913 memuat
surat Amat Edris, yang berisi usul
untuk menukar tanah sehubungan dengan
pembukaan jalan baru menuju Pasar Bugangan
(1913:380). Kecuali itu juga surat Direktur
Proyek Kota tanggal 13 November 1913
¹ 460/16, mengenai penerangan jalan di sepanjang
pasar baru di Bugangan.
Surat
Komisi Pasar tanggal 25 April 1913
¹ 69 tentang usul penjualan kompleks bangunan
yang akan dirobohkan di tanah yang
diperlukan untuk perluasan Pasar Peterongan
(1913:305). Surat itu diajukan kepada
dewan kota dan berdasarkan pasal 90
Peraturan Dewan Lokal, maka diputuskan menjual
bangunan yang berdiri di tanah yang diperlukan
untuk perluasan Pasar Peterongan dan
memberi wewenang Komisi Pasar melakukan
penjualan ini.
Demikian
halnya dengan permohonan Mualim
yang tinggal di Pekojan mengenai ijin
untuk pembukaan warung di depan Pasar
Johar. Dewan kota dalam mengambil keputusan
juga mendasarkan pada masukan dari
Komisi Pasar tanggal 3 April 1913 ¹.31a, Direktur
Proyek Kotapraja tanggal 8 Mei 1913
¹.153/11, Kepala Komisaris Kepolisian tanggal
24 Mei 1913 ¹.43/2 A dan nasehat
Ketua
Dewan tanggal 30 Mei 1913 ¹.270 (1913:387).
Pada dasarnya dewan tidak keberatan
terhadap permohonan Mualim, namun
Direktur Proyek Kota dan Komisaris Kepala
Kepolisian berbeda pendapat.
Direktur
Proyek Kota, A Plate dan Kepala
Komisaris Kepolisian merasa keberatan.
Keberatan itu berkaitan dengan pembersihan
saluran air, tempat warung es akan
dibangun dan keberatan yang diajukan Kepala
Komisaris Kepolisian berhubungan dengan
lalu-lintas. Sementara untuk pendirian
warung
es dan penempatan hanggar sepeda di
atas saluran air, dewan bisa mengabulkan dengan
menagajukan argumentasi bahwa ketika
saluran air akan dibersihkan, warung dapat
dipindahkan.
Warung
dibuka di atas saluran air di depan
pasar Johar. Anggota dewan, Stapel mengunjungi
tempat itu dan menemukan (1913:388)
bahwa keberatan Kepala Komisaris Kepolisian
dianggap wajar. Sebelumnya memang
ada beberapa warung di tempat yang
sama, tetapi ijin yang diberikan untuk pendirian
sudah dicabut karena keberadaan warung-warung
ini menghambat lalu-lintas, terutama
pejalan kaki. Untuk memberi kemudahan
pejalan kaki, saluran air atau got ditutup.
Tujuannya adalah memperbaiki lalulintas di
depan Pasar Johar, kecuali itu masih ada
tempat lain yang memadai dekat tempat yang
diusulkan untuk pendirian warung, sehingga
tidak ada alasan untuk memberi ijin
pendirian di atas saluran air yang sudah ditutup.
Anggota dewan lain, van der Waag menyatakan bahwa keberatan diajukan karena saluran air sudah ditutup. Akan tetapi di Pasar Karangbidara, dekat Pasar Johar hal itu juga pernah dilakukan oleh pihak kotapraja. Ketua dewan, van der Ent memberikan jawaban bahwa perluasan lahan pasar kotapraja dipercepat oleh Komisi Pasar. Akan tetapi kurangnya pegawai pada dinas pekerjaan kotaraja menjadi penyebab pelaksanaan rencana Komisi Pasar mengalami hambatan. Selama rencana itu tidak segera terlaksana, kondisi yang disebutkan van der Waag harus tetap dipertahankan, namun tidak perlu ada alasan untuk menciptakan kondisi buruk baru.
Anggota dewan lain, van der Waag menyatakan bahwa keberatan diajukan karena saluran air sudah ditutup. Akan tetapi di Pasar Karangbidara, dekat Pasar Johar hal itu juga pernah dilakukan oleh pihak kotapraja. Ketua dewan, van der Ent memberikan jawaban bahwa perluasan lahan pasar kotapraja dipercepat oleh Komisi Pasar. Akan tetapi kurangnya pegawai pada dinas pekerjaan kotaraja menjadi penyebab pelaksanaan rencana Komisi Pasar mengalami hambatan. Selama rencana itu tidak segera terlaksana, kondisi yang disebutkan van der Waag harus tetap dipertahankan, namun tidak perlu ada alasan untuk menciptakan kondisi buruk baru.
Ketua
Komisi Pasar, D.J.A. Westerveld tidak
merasa keberatan terhadap permohonan pembukaan
warung di pusat kota, karena memang
diperlukan oleh para kuli untuk tempat
makan siang (1913:389). Orang-orang Eropa
biasanya memanfaatkan ruangan yang
disediakan kantor, sementara para kuli atau
pekerja yang sebagian besar penduduk pribumi
harus mencari sendiri tempat untuk makan.
Kondisi seperti itu berbeda dengan di
Eropa yang menyediakan ruangan khusus bagi
para pekerja atau kuli untuk makan. Di kota-kota
Hindia Belanda, ruangan khusus tersebut
tidak disediakan oleh para majikan.
Anggota Dewan, Tilema mempertimbangkan
apa yang dikatakan oleh
Westerveld tentang pentingnya pendirian warung
bagi para kuli. Namun persoalannya, tanah
di kawasan sentra perdagangana terlalu
mahal untuk pendirian warung tempat istirahat
kuli dengan jumlah sekitar 300-400 pekerja.
Persoalan itu juga dibahas antara Komisi
Pasar dengan dewan kota agar lahan untuk
pendirian warung-warung di pusat kota
bisa disetujui. Pembahasan di tingkat dewan
kota memperoleh dukungan suara 11 berbanding
5 suara yang berasal dari van der Waag,
Stapel, van Wijngaarden, de Iongh dan de
Graaff.
Sadeli,
penduduk yang tinggal di Kauman
mengajukan permohonan ijin untuk memasang
atap di depan rumahnya yang akan
digunakan untuk menjual makanan tradisional.
Permohonan tersebut diputuskan oleh
dewan dengan memperhatikan beberapa masukan
dari Komisi Pasar tanggal 9 Juni
1913 ¹.44a, Direktur Proyek Kota tanggal
8 Mei 1913 ¹.152/11 dan Ketua Dewan
Kotapraja tanggal 16 Juni 1913 ¹.133 (1913:90).
Hasil pembahasan disampaikan kepada
pemohon bahwa Pasar Pedamaran Lor
yang terletak tidak jauh dari tempat yang dihuninya,
masih menyediakan lahan yang
memadai
untuk penjualan yang dimaksud Sadeli.
Komisi
Pasar mengabulkan permohonan itu
karena rumah Sadeli terletak dekat Pasar Pedamaran
Lor. Jarak rumah Sadeli ke pasar
ini kira-kira seperempat paal. Direktur Proyek
Kotapraja merasa keberatan terhadap disetujuinya
permohonan, karena warung itu
akan berada di atas saluran air. Van der Waag
telah mengadakan suatu penyelidikan dan
Van der Waag menyatakan bahwa Sadeli
hanya ingin memasang sebuah meja di
atas saluran air. Kalaupun ditemukan genangan
air di saluran tersebut disebabkan adanya
kotoran yang berasal dari saluran kampung.
Van der Waag telah mengadakan penyelidikan
bahwa penduduk di sekitar jika
memerlukan sesuatu barang pada petang
hari, tidak perlu harus berjalan sejauh seperempat
paal agar bisa mencapai pasar, apalagi
pada petang hari pasar sudah tutup. Inilah
argumentasi yang disampaikan anggota dewan
terhadap dikabulkannya permohonan Sadeli.
Sementara Ketua dewan mengatakan bahwa
Sadeli bisa mengelola warung di
rumahnya,
tanpa harus mendirikan bangunan di
luar lahan rumah.
Berdasarkan
masukan dari Komisi Pasar
tanggal 24 Juli 1913 ¹.62a dan Ketua Dewan
tanggal 21 Agustus 1913 ¹.165, maka permohonan
Soetosarwi yang tinggal di kampung
Gabahan untuk membuka warung di
jalan sepanjang stasiun pusat ditolak oleh
dewan. Penolakan itu didasarkan pada
pertimbangan
bahwa Pasar Karangbidara Kulon
yang terletak di dekatnya masih menyediakan
tempat untuk kedai penjualan bagi
Soetosarwi. Van der Waag menyatakan dengan
tegas menolak usul itu. Warung ini akan
didirikan di dekat stasiun pusat, kira-kira seperempat
paal jaraknya dari Pasar Karangbidara.
Jika permohonan itu tidak dikabulkan,
maka tenaga kerja di stasiun tidak akan
memiliki warung. Konsep keputusan ini ditolak
denan 11 berbanding 3 suara yaitu dari Westerveld,
Wirjokoesoemo dan Buurman. Ketua
berkata bahwa dia mengusulkan agar Dewan
menolak surat permohonan ini dengan adanya
nasehat dari Komisi Pasar. Bila dewan terbukti
tidak menyetujui cara pandang Komisi
Pasar itu dan pada pembicara tidak ada
keberatan sebagai kepala pemerintah daerah
terhadap pemberian ijin tersebut, pembicara
dalam rapat berikutnya akan menyerahkan
konsep keputusan kepada dewan
mengenai penggunaan tanah kotapraja bagi
penempatan warung.
Dalam
keputusan dewan tanggal 14 Juni 1912,
Komisi Pasar diberi wewenang untuk membangun
sebuah los pasar di atas lahan yang
telah diberikan oleh pemerintah. Untuk kepentingan
itu disediakan dana sebesar f 10.000.
Pada awalnya (tahun 1903) tujuan penyediaan
lahan ini bersifat sementara, sambil
menunggu pembangunan sebuah pasar
sentral di lahan tersebut. Namun ada pertimbangan
bahwa yang namanya pasar sentral,
tentunya didirikan di pusat kota. Padahal
di pusat kota sudah ada Pasar Pedamaran
yang sangat ramai. Di samping ada kemungkinan
bisa diperoleh lahan luas untuk membangun
pelataran pasar di belakang Pasar Pedamaran
Lor. Karenanya Komisi Pasar memutuskan
untuk mengusulkan kepada dewan
kota agar menyediakan los-los pasar sementara
di Bugangan bagi pembangunan “pasar
lokal”, bukan “pasar sentral”.
Pertimbangan
yang mengemuka untuk membuka
pasar baru (pembangunan “pasar lokal”)
di Bugangan antara lain : pertama, Pasar
Ambengan terlalu kecil, sekalipun mudah
dicapai dari berbagai kampung. Kedua,
terbukti di sepanjang jalan raya sebelah
utara dan selatan Pasar Ambengan nampak
banyak penjual, dikarenakan terjadi kekurangan
lahan untuk bisa memberikan tempat
bagi semua penjual.
Los-los baru di Bugangan menawarkan ruang yang memadai dengan lahan seluas 1920 M2, terdiri atas los pasar 1020 M2 dan lahan pasar terbuka 900 M2; sementara los yang terdapat di Pasar Ambengan hanya seluas 240 M2. Demikian halnya untuk tempat pedati di Bugangan bisa disediakan, yang di Ambengan sama sekali tidak ada lahannya. Penggunaan los-los di Pasar Bugangan tidak merugikan penjual, megingat retribusi yang dipungut oleh pihak kotapraja jauh lebih rendah daripada retribusi di lahan milik orang-orang swasta yang terdapat di sepanjang jalan atau di depan rumah.
Los-los baru di Bugangan menawarkan ruang yang memadai dengan lahan seluas 1920 M2, terdiri atas los pasar 1020 M2 dan lahan pasar terbuka 900 M2; sementara los yang terdapat di Pasar Ambengan hanya seluas 240 M2. Demikian halnya untuk tempat pedati di Bugangan bisa disediakan, yang di Ambengan sama sekali tidak ada lahannya. Penggunaan los-los di Pasar Bugangan tidak merugikan penjual, megingat retribusi yang dipungut oleh pihak kotapraja jauh lebih rendah daripada retribusi di lahan milik orang-orang swasta yang terdapat di sepanjang jalan atau di depan rumah.
Pembangunan
los tersebut oleh Dinas Proyek
Kotapraja dianggarkan sekitar f 10.000.
Tingginya harga kayu menjadi penyebab
jumlah ini tidak memadai. Batas minimal
harga ditetapkan sebesar f 12.900. Komisi
menduga harus memenuhi jumlah ini
karena harga lebih rendah tidak bisa
ditekan
lagi. Pada tahun dinas 1912 kepada pemborong
dibayarkan dana sebesar f 5863,50
sehingga pada tanggal 1 Januari 1913 masih
akan dibayarkan lagi sebesar f 7036,50. Bebagai
perbaikan yang dilakukan seperti: pembukaan
jalan, pengelolaan tempat pedati menurut
Dinas Proyek Kota dianggarkan serjumlah
f 56.628. Untuk penerangan (pembukaan)
masih diperlukan dana sebesar f
400. Untuk menyediakan los (pemasangan kincir
angin di atap) disediakan dana f 500; untuk
pembangunan sebuah rumah dinas bagi kepala
pasar diperlukan f 600.
Pada
tahun dinas 1913 disediakan dana pembangunan
sebuah pasar baru (pasal 81) sebesar
f 6486; penyusutan pasal 80 anggaran pada
pasal 81 (dengan f 5000, untuk pasal 80 bisa
dipenuhi) sebesar f 5000. Pemasukan selama
tahun 1913 ditafsirkan sebanyak f 36
ribu. Namun jumlahnya pada tahun 1912 mencapai
f 32.754,35 ½ dan sejak itu terus mengalami
kenaikan sehingga selama tahun 1913
bisa diperhitungkan penerimaan di luar anggaran
sebesar f 6000. Pada tahun 1912 penghasilan
pasar berjumlah f 43.754,35 sementara
pengeluaran f 31.193; selisih yang ada
di anggaran tahun 1913 bisa dituliskan f 12.561,35;
sehingga harus ditemukan jumlah f
35.117,14.
Seluruh
proyek itu baru bisa diselesaikan pada
tahun 1914, sehingga dana yang tersedia selama
tahun dinas dapat digunakan bagi pembangunan
pasar baru. Pada anggaran tahun 1914
yang diajukan, selisih antara pemasukan dan
pengeluaran mencapai f 19.760 pada pos “pembaharuan
dan perbaikan pasar” dengan tujuan
untuk bisa menggunakan dana ini pertama-tama
bagi pembangunan sebuah pasar
baru di Peterongan. Dengan pengajuan anggaran
ini, Komisi berpendapat bahwa sarana
yang tersedia selama tahun dinas 1913 tampaknya
memadai untuk menyelesaikan pasar
Bugangan. Apabila hal itu tidak terjadi, sebagian
besar jumlah yang disebutkan di atas harus
digunakan bagi Bugangan dan dana yang
diperlukan bagi pembangunan pasar baru
di Peterongan dengan cara lain harus diperoleh
lewat pinjaman. Karena itu komisi kita
mengusulkan untuk menyediakan dana sebesar
f 17.l617 dari pos anggaran tahun 1914
pada pos “pembangunan pasar baru”. Masih
ditemukan dana sebesar f 35.117,14 – f 17.617,14
atau f 17.500.
Komisi
Pasar menduga (806) bahwa tidak
ada keberatan terhadap penggunaan dana
ini sementara dari uang yang tersedia bagi
pemasangan riol dan menetapkan bahwa
dari pendapatan pasar tahun 1915 dana
sebesar f 17500 telah ditambah dengan bunga
4 ½ persen disetorkan kembali
ke
kas kotapraja. Kondisi usaha pasar yang
setiap tahun mendapatkan lebih banyak
pemasukan daripada pengeluaran, sepenuhnya
mendukung keputusan ini, terutama
juga karena dalam pembukaan pasar
baru penghasilan akan naik. Jika usul Komisi
Pasar diterima, maka kotapraja akan
memiliki pasar yang lebih kaya, yang pasti
sangat menonjol dibandingkan pasar-pasar lain.
Bangunan yang tinggi, luas dan segar
udaranya, mudah dibersihkan dan letaknya
strategis, semua itu memenuhi
kebutuhan.
Setelah kunjungan Komisi Pasar
ke Singapura guna mempersiapkan pembangunan
infrastruktur pasar baru Peterongan.
Komisi Pasar yakin bahwa dewan
menyetujui usul ini dan memberikan pertimbangan
untuk memutuskan.
Komisi
Teknik, Beukema menyatakan bahwa
di depan kios karcis pada setiap lahan pasar
akan dirancang sebuah jalan dengan lebar
kira-kira 5 meter, yang bisa dimanfaatkan jika
pasar memerlurkan perluasan. Demikian pula
disiapkan ruang dalam los pasar untuk tempat
penjualan yang lebih besar serta jalan masuk
selebar 5 meter. Ukuran minim jalan dirancang
dengan lebar 1,50 meter jalan masuk
antara tempat penjualan di lahan pasar terbuka
dan 1,75 meter di sekitar tempat tinggi
di sepanjang tembok. Kamar mandi yang
termasuk kompleks pasar letaknya kurang
menguntungkan jika terjadi perluasan pasar.
Angota dewan, Stuurman mempertanyakan
apakah Pasar Bugangan letaknya
menguntungkan bagi pengunjung pasar,
mengingat pasar ini didirikan dekat sawah
(1913:810). Stuurman berargumen bahwa
di mana-mana pasar terletak dekat jalan
raya, bukan di tengah sawah. Jika pasar berada
di tengah sawah, mampukah menarik banyak
pengunjung. Saran yang diberikan agar
Komisi Pasar pergi ke Singapura untuk melakukan
studi banding, bahkan Stuurman berani
mempertaruhkan kursinya dalam dewan,
bahwa Komisi Pasar di Singapura tidak
akan menemukan sebuah pasar berada di
tengah sawah. Oleh karenanya Stuurman tidak
bertanggungjawab bila menyediakan biaya
f 75.000 bagi pasar ini.
Sementara
anggota dewan lainnya, Buurman
menyampaikan kepada Stuurman bahwa
pasar itu terletak di dekat kompleks perkampungan.
Selain itu letaknya berada di ujung
jalann dan cukup strategis, membentang melalui
Banjirkanal barat serta banyak pengunjung
pasar setiap hari melalui daerah itu.
Stuurman tetap berpandangan lebih baik memperlebar
pasar di Ambengan, karena dengan
perpindahan pasar Ambengan akan sangat
merugikan bagi penduduk pribumi. Pasar
Ambengan dipindahkan ke sebuah lahan
yang berjarak tidak jauh dari tempat semula.
Bukan hanya ada sebuah jalan kampung
dari Ambengan ke Bugangan yang menjadi
jalan masuk ke pasar baru, tetapi juga dari
kampung Cina mudah dicapai. Los-los yang
dibangun di Bugangan telah dirancang sedemikian
rupa, sehingga jika diperlukan setiap
saat bisa diperluas. Kotapraja juga memiliki
sebuah lahan pasar luas yang saat itu diserahkan
untuk dikelola atas permohonan dewan.
Westerveld
menyebutkan seperti di samping
jalan Banjir Kanal Barat dan Karangasem
didirikan gudang-gudang. Komisi
Pasar beberapa waktu sebelumnya meminta
Direktur Proyek Kotapraja untuk memberi
pertimbangan tentang pendirian gudang
di dekat kanal pelabuhan, tetapi sampai
tahun 1913 Komisi Pasar belum menerima
jawaban. Menyikapi situasi ini, Westerveld sebagai ketua Komisi Pasar tidak menyalahkan
dinas proyek kota, dikarenakan kekurangan
pegawai sehingga tidak cukup waktu
untuk pekerjaan ini. Mengenai pendirian
gudang tersebut, Westerveld juga tidak
merasa keberatan karena kepentingan pasar
kota tidak terlibat.
Pihak
swasta sejak tahun 1914 mengusulkan
kepada pemerintah untuk mulai
mendirikan sebuah pasar hewan di lahan
milik pemerintah. Namun dikarenakan sebuah
pasar hewan di Semarang tidak mampu
menunjukkan eksistensinya, maka usul
itu tidak direalisasikan. Akan tetapi pada tahun
1915 Pemerintah Kotapraja Semarang memberi
kesempatan untuk membangun lahan
terbuka di samping Pasar Bugangan untuk
tempat perdagangan kambing dan hewan
lainnya.
SIMPULAN
Dari
hasil penelitian dan pembahasan yang
telah disinggung di atas, dapatlah disampaikan
jawaban dari beberapa permasalahan.
Pasar pada era kolonial (tahun 1873-1914)
belum dikenal istilah “pasar tradisional”,
sebagaimana yang sering kita jumpai
untuk jenis pasar pemerintah pada dewasa
ini. Sebutan yang sering mengemuka untuk
jenis kepemilikan kala itu adalah “pasar kotapraja”
dan “pasar partikelir”. Namun demikian
kedua jenis kepemilikan pasar tersebut,
merupakan muara dari aktivitas jual
beli yang menjadi simpul kemampuan hidup
masyarakat setempat. Hanya saja pembedanya
terletak pada aspek kebersihan, keamanan
dan kenyamanan didominasi oleh
pasar kotapraja atau pasar pemerintah. Kondisi
demikian jarang bisa ditemukan pada
jenis
pasar partikelir.
Pasar sebagai penanda peradaban yang memiliki sejarah panjang telah mampu menunjukkan sebagai bukti dari realisasi perubahan zaman. Berbagai keputusan yang dikeluarkan oleh dewan kota terkait dengan eksistensi pasar lebih dulu dilakukan pembahasan. Pembahasan didasarkan pada analisa kondisi sosial ekonomi masyarakat, layak tidaknya suatu pasar baru akan didirikan di suatu lokasi tertentu dan sebagainya.
Pasar sebagai penanda peradaban yang memiliki sejarah panjang telah mampu menunjukkan sebagai bukti dari realisasi perubahan zaman. Berbagai keputusan yang dikeluarkan oleh dewan kota terkait dengan eksistensi pasar lebih dulu dilakukan pembahasan. Pembahasan didasarkan pada analisa kondisi sosial ekonomi masyarakat, layak tidaknya suatu pasar baru akan didirikan di suatu lokasi tertentu dan sebagainya.
Pasar
Kotapraja maupun pasar partikelir di
Kotapraja Semarang periode 1873-1914, sebagaimana
scope temporal penelitian ini
sudah mampu memperlihatkan sebagai cerminan
kehidupan sosial ekonomi dalam sebuah
masyarakat. Di samping sebagai ladang
penghidupan bagi para pedagang/penjual
beserta komunitas pasar lainnya (kuli angkut,
tukang sapu dan penjaga), pasar-pasar di
kota ini juga telah merajut jaringan ekonomi
masyarakat yang sangat luas. Mulai dari
produsen hasil bumi/petani, penghasil kerajinan,
pedagang perantara.
Akan
tetapi yang perlu digarisbawahi adalah
apapun bentuk regulasi pasar, nuansa kolonialisme
tidak mampu dihindarkan. Pemerintah
Kotapraja Semarang yang dengan
mayoritas anggotanya berkebangsaan Eropa
telah menyadari betul bahwa potensi pasar
mampu dijadikan akses untuk meraih simpati
rakyat pribumi. Upaya yang dapat dilakukan
misalnya tentang lahan untuk pedati
yang memadai, penataan los-los pasar yang
teratur, selalu menjaga kebersihan, keindahan,
kenyamanan dan keamanan. Ini semua
merupakan indikator dari revitalisasi yang
diupayakan oleh Pemerintah Kotapraja Semarang.
Apapun motif revitalisasi pasar era
kolonial, yang jelas implementasi dari hasil
pembahasan untuk pembenahan dan pemberdayaan
pasar tidak hanya sebatas
perbaikan
kondisi fi sik. Namun juga lebih dilihat
fungsi sebagai ruang khalayak yang melayani
kepentingan sosial masyarakat.
DAFTAR RUJUKAN
Gemeenteblad
uitggeven voor Rekening
0 komentar:
Posting Komentar