Kamis, 12 November 2015

PERAN MODAL SOSIAL DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN MASYARAKAT MISKIN PERKOTAAN PADA PEDAGANG SEKTOR INFORMAL DI KOTA SEMARANG



Forum Ilmu Sosial, Vol. 37 No. 2 Desember 2010
 
PERAN MODAL SOSIAL DALAM PENANGGULANGAN
KEMISKINAN MASYARAKAT MISKIN PERKOTAAN
PADA PEDAGANG SEKTOR INFORMAL DI KOTA SEMARANG
Moh. Aris Munandar
Jurusan PKn FIS UNNES
 
Abstract

        The informal sector trader has a greater chance when they had empowered compared with other professions in vertical mobility among people on low incomes. In addition, based on BPS data from
1996-2008, the condition of the poor in Indonesia has always fl uctuated with the range between 1% to 5%, to rise or fall on the poverty line. This condition indicated that there have not formulated of the poverty reduction yet. This study was to determine the extent of social capital’s role in the response to the urban poor in the community of informal sector traders in the city of Semarang on the basis of the pockets of the informal sector as traders in Semarang Jalan Gajah Mada, Pasar Kobong , and bird markets Citarum. Respondents of this study include the informal sector traders who can represent the data analysis, and respondentsm who can provide additional information relating to informal trading sector. Data analysis using qda weft of this study are 1) Categorization of cooperation undertaken in the informal sector traders community of the urban poor can be divided into joint categorization of low, medium and fairly. Categorization of his cooperation is based on how far they can foster capital that can be used as working capital from high level. Interactions are very rare which is often done while the low cooperation, 2) Traders prefer informal sector in the form of informal cooperation, 3) Found allegations reason not to develop cooperatives in the informal sector traders community. 4) In this research can be made categorization “please help” in the merchant community informal.5) community cohesiveness informal traders can be categorized as high sector. This condition is shown from the notion of my (community members) and you (not a member).

Key words : Role, urban poor community, traders, informal sector

PENDAHULUAN

          Persentase jumlah penduduk perkotaan dari tahun ke tahun cenderung meningkat, misal berdasarkan data BPS antara tahun 2000 dan 2003 dari 85,8 juta menjadi 97,9 juta. Tetapi persentase penduduk miskin perkotaan terhadap total penduduk miskin sampai tahun 2005 adalah tetap 1/3 dari total kemiskinan atau sekitar 32,3% dari total kemiskinan, dengan demikian yang berkurang dalam upaya penanggulangan kemiskinan lebih pada penduduk desa dibandingkan penduduk perkotaan (Kamaludin.2006:4). Masyarakat miskin perkotaan sebagain besar bekerja sebagai: (1) buruh baik yang formal atau pun buruh informal, (2) pedagang informal seperti penjual bakso keliling, pedagang
kaki lima, pedagang barang bekas, penjual jamu gendong, dan (3) pegawai dengan kepangkatan yang rendah pada lingkungan instansi atau lembaga pemerintah. Salim (1995: 18) pernah melakukan penelitian berkaitan dengan mobilitas vertikal dari penduduk yang berpenghasilan rendah. Dalam penelitiannya ditemukan bahwa pedagang kaki lima memiliki peluang yang lebih besar dibandingkan profesi lainnya guna melakukan mobilisasi vertikal pada kalangan orang yang berpenghasilan rendah.
Hampir semua departemen mempunyai program penanggulangan kemiskinan, dan dana yang telah dikeluarkan pemerintah untuk pelaksanaan program-program tersebut telah mencapai puluhan trilyun rupiah (Sulekale: 2003: 3) Pertanyaannya adalah mengapa ketika terjadi krisis ekonomi di Indonesia,
jumlah penduduk miskin semakin bertambah lagi? Hal ini berarti upaya penanggulangan kemiskinan masih perlu dikaji lebih lanjut.
          Berdasarkan data BPS sejak 1996-2008, kondisi orang miskin di Indonesia selalu berfluktuasi dengan kisaran antara 1% sampai 5% untuk naik atau turun pada garis kemiskinan, kondisi ini berarti
belum ditemukakannya suatu formula penanggulangan kemiskinan yang secara permanen dapat memberdayakan mereka meskipun upaya penanggulangan kemiskinan telah dilakukan tetapi upaya penanggulangan kemiskinan dengan menggunakan modal sosial masih belum optimal dilakukan.
          Modal sosial diperkenalkan oleh Loury pada tahun 1987. Modal sosial diartikan sebagai kumpulan sumber yang melekat dalam relasi keluarga dan organisasi sosial komunitas yang bermanfaat untuk pengembangan modal manusia (Coleman.2008: 368). Selanjutnya, Coleman menyatakan bahwa modal sosial diperlukan untuk mengantisipasi pandangan bahwa manusia harus bersaing bebas, yang pada kasus-kasus tertentu ternyata mendatangkan kesengsaraan pada manusia. Modal sosial bersifat produktif yangmemungkinkan pencapaian tujuan dengan
kebersamaan, tanpa kebersamaan tujuan tidak
akan tercapai.
          Suharto (2008:3) mengartikan modal sosial sebagai sumber yang timbul dari adanya interaksi antara orang-orang dalam suatu komunitas. Namun demikian pengukuran kuat atau lemahnya modal sosial bukan pada interaksinya tetapi pada hasil interaksinya, yaitu ikatan-ikatan emosional yang menyatukan orang untuk mencapai tujuan bersama yang saling menguntungkan. Selanjutnya, Suharto (2008:4) juga menyatakan bahwa masyarakat yang memiliki modal sosial yang tinggi cenderung bekerja secara gotong royong, merasa aman dan mampu mengatasi perbedaan-perbedaan untuk mencapai tujuan bersama.
          Apa yang dikemukakan Suharto yang mengkaitkan modal sosial dengan interaksi sebenarnya hampir mirip dengan pemikiran Fukuyama (1995) yang mengkaitkan modal sosial dengan asosiasi diantara individuindividu pada suatu komunitas. Individuindividu saling menyadari bahwa mereka harus memiliki norma-norma dan nilai-nilai bersama untuk mencapai tujuan bersama. Menurutnya, asosiasi dari individu-individu yang menyadari dan menerima nilai-nilai bersama bila dikembangkan akan memiliki nilai ekonomis yang besar dan terukur.
          Kehidupan modern lebih mengarahkan manusia hidup menyendiri (individual) dibandingkan hidup secara kolektif. Dengan demikian, pemikiran seorang individu selalu bagaimana menyelesaikan permasalahan secara individual dibandingkan secara kolektif. Untuk kasus di Indonesia, Hasbullah (2006:1-14) mencatat banyak sekolah roboh, banyak jalan desa yang rusak, banyak tanah kering yang tidak ditanami, masyarakat setiap hari berkumpul dan bertemu, tetapi tidak mengerjakan hal-hal yang mengganggu mereka bersama, mereka hanya menunggu instansi pemerintah yang harus memperbaikinya. Hal tersebut berarti dalam konsepsi modal sosial, kepercayaan (trust) masyarakat terlalu rendah. Kepercayaan (trust) merupakan salah satu dimensi modal sosial yang dikemukakan oleh Fukuyama (1995). Menurutnya unsur pokok modal sosial meliputi; (1) adanya kepercayaan adalah suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan sosial yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lainnya akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan bertindak dalam pola tindakan yang saling mendukung. Berbagai tindakan kolektif yang di dasari rasa saling percaya yang tinggi akan meningkatkan partisipasi masyarakatnya. (2) Resiprocity (saling tukar kebaikan) merupakan dimensi modal sosial dimana orang dapat dipastikan akan memberikan kebaikan kepadanya dan orang lain pun akan menerima kebaikan dari yang lainnya. Dalam prinsip ini ada semangat untuk membantu dan mement ingkan kepentingan orang lain. (3) norma sosial, yakni sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh anggota masyarakat tertentu. Bila suatu masyarakat memiliki norma sosial yang mendukung kearah tujuan bersama maka modal sosial masyarakat tersebut dapat dikatakan kuat, tetapi bila norma itu menghambat tujuan bersama yang lebih baik lagi, maka modal sosial dapat dikatakan lemah. (4) Nilai-nilai yang dimiliki bersama oleh masyarakat seperti nilai harmoni, prestasi, kerja keras, dan kompetisi. Menurut Fukuyama, nilai-nilai selain dapat memperkuat modal sosial tetapi dapat pula memperlemah dengan demikian nilai-nilai harus dikelola ke arah yang lebih baik dan bermanfaat. Pengembangan Modal Sosial juga harus memperhatikan pengembangan kapasitas agar organisasi atau sistem untuk menjalankan fungsi sebagaimana mestinya secara efisien, efektif dan terus menerus (Milen.2006:12)
          Serageldin (2007: 45) memberikan klasifi kasi modal sosial antara lain: (1) modal sosial dalam bentuk interaksi sosial yang tahan lama tetapi hubungan searah, seperti pengajaran dan perdagangan sedang interaksi sosial yang hubungannya resiprocal (timbal balik) seperti jaringan sosial dan asosiasi. (2) modal sosial dalam bentuk efek interaksi sosial lebih tahan lama dalam hubungan searah seperti kepercayaan, rasa hormat dan imitasi sedang dalam bentuk hubungan timbal balik seperti gosip, reputasi, pooling, peranan sosial dan koordinasi, semua ini mengandung nilai ekonomi yang tinggi. Selanjutnya Hasbullah (2006:18) mengkaitkan antara modal sosial, modal manusia, modal alam dan modal ekonomi. Menurutnya kaitan antara keempat modal tersebut akan menghasilkan community capital.
METODE PENELITIAN
          Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif bertipe deskriptif, metode penelitian kualitatif secara sederhana bermaksud mengembangkan pengertian tentang individu dan berbagai kejadian dengan memperhitungkan konteks yang relevan, dan bertujuan memahami fenomena sosial melalui gambaran holistik dan memperbanyak pemahaman mendalam. Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis dengan teknik taksonomi, sehingga didapatkan kategorisasi dari modal sosial yang dilakukan dan pengembangan kapasitas masyarakat miskin perkotaan, yang kemudian akan dikaitkan dengan faktor penyebab serta langkah antisipasif yang dikemukakan. Penelitian ini dilakukan di Kota Semarang dengan membuat kategori berdasarkan kantongkantong pedagang sektor informal seperti di Jalan Gajahmada Semarang, Pasar Kobong, Citarum, Pasar Burung.
          Responden penelitian ini meliputi para pedagang sektor informal yang dapat mewakili dalam analisis data, serta responden-responden yang dapat memberikan informasi tambahan yang terkait dengan sektor perdagangan informal seperti kalangan akademisi yang pernah melakukan penelitian ataupun tokoh masyarakat baik yang formal maupun informal. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah; 1) observasi, 2) angket, 3) wawancara, 4) dokumentasi, dan 5) studi pustaka.
          Data yang diperoleh akan dicoding, setelah itu akan dikelompok-kelompokkan kedalam domain-domain dan sub-sub domain tertentu. Pengelompokan ini didasarkan pada empirik yang memiliki kesamaankesamaan tertentu. Untuk mempermudah pengelompokan akan digunakan software weft QDA. Dengan demikian akan ditemukan pengkategorian-pengkategorian yang dapat digunakan sebagai dasar pembuatan model.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Konsepsi Kerjasama Pada Komunitas Pedagang Sektor Informal
          Komunitas Sektor Informal merupakan sub komunitas dari kegiatan wiraswasta, dimana orang mencari nafkah untuk dirinya sendiri dengan modal sendiri, sehingga orang tersebut akan menggunakan segenap kemampuannya agar tetap bertahan hidup. Agar tetap bertahan hidup, manusia dapat menggunakan dua pendekatan yakni berusaha sendiri dengan meningkatkan kapasitas dan kapabilitasnya sehingga orang lain memerlukan bakatnya, dan yang kedua adalah menggunakan kemampuan berinteraksi antara dirinya dengan orang lain ataupun antar kelompok.
      Masyarakat miskin perkotaan lebih cenderung menggunakan pendekatan penggunaan kemampuan interaksi antara dirinya dengan orang lain ataupun antar kelompok. Penggunaan pendekatan ini disebabkan minimnya modal yang dapat digunakan bagi pengembangan kapasitas dan
kapabilitas dirinya. Akibatnya perkembangan individual dari masyarakat miskin perkotaan tidak begitu menyolok.
          Terkait dengan penggunaan peningkatan interaksi antara dirinya dengan orang lain ataupun antar kelompok, dalam penelitian ini dapat ditemukan kategori dari intensitas kerjasama antar individu dalam masyarakat miskin perkotaan. Kategorisasi dari kerjasama ini didasarkan pada sejauhmana mereka dapat memupuk modal yang dapat digunakan sebagai modal usaha; 1) Kerjasama
rendah. Mereka telah melakukan interaksi antara mereka, saling menyapa dan berbuat baik. Tetapi mereka belum memiliki saling kepercayaan untuk melakukan tindakan bersama berupa pengumpulan materi bagi kemajuan bersama. Kerjasama mereka hanya sebatas untuk menghindari konflik yang timbul diantara mereka. 2) Kerjasama cukup. Mereka telah melakukan interaksi antara mereka, saling menyapa dan berbuat baik, telah ada saling kepercayaan untuk meminjamkan materi, saling memberikan informasi untuk pengembangan akses usaha, meminimalisir persaingan dengan penetapan harga yang sama, tetapi belum ada kepercayaan untuk mengumpulkan modal bagi kepentingan bersama. 3) Kerjasama tinggi. Mereka telah melakukan interaksi antara mereka, saling menyapa dan berbuat baik, telah ada saling kepercayaan untuk meminjamkan materi, saling memberikan informasi untuk pengembangan akses usaha, meminimalisir persaingan dengan penetapan harga yang sama, sudah ada usaha untuk pengumpulan modal guna kepentingan bersama.
          Di samping kategorisasi kerjasama masyarakat miskin perkotaan yang didasarkan sejauhmana pemupukan modal materi guna mencapai tujuan bersama, dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa kerjasama masyarakat miskin perkotaan dapat juga dikategorisasikan berdasarkan apakah organisasinya formal (resmi menurut hukum) ataupun informal (paguyuban). Paparan kerjasama tersebut sebagai berikut: 1) Kerjasama formal. Pembentukan lembaga yang menghimpun masyarakat agar bersedia bekerjasama dilakukan secara resmi, didaftarkan pada kantor pemerintah, ada kepengurusan yang disahkan oleh akte notaris, contoh kerjasama formal ini adalah koperasi. 2) Kerjasama informal. Pembentukan lembaga yang menghimpun masyarakat agar bersedia bekerjasama dilakukan tidak resmi, tidak terdaftar secara resmi pada kantor pemerintah, kepengurusan tidak disahkan oleh akte notaris.
         Kedua bentuk kerjasama tersebut dapat diberi nama sebagai kerjasama struktural dan kerjasama kultural. Kerjasama struktural untuk mengungkap ciri dari masyarakat yang pembentukan kelompoknya lebih didasarkan pada ikatan atas (ikatan aturan dari pemerintah atau ide dari pemerintah), sedangkan kerjasama kultural untuk mengungkap ciri dari masyarakat yang pembentukan kelompoknya lebih didasarkan pada ikatan horizontal (ikatan aturan dari mereka sendiri
atau ide dari masyarakat sendiri).
          Masyarakat miskin perkotaan Kota Semarang lebih cenderung melakukan pembentukan kelompok kerjasama secara informal. Pilihan mereka pada kelompok informal ini dilandasi, mereka tidak menyukai hubungan yang kaku atau formal, mereka lebih suka hubungan berjalan secara natural atau alami. Misalnya, komunitas pedagang jagung bakar di sepanjang jalan Gajahmada sampai mendekati rumah Sakit Telogorejo dan di depan Taman KB; mereka melakukan kerjasama berbentuk pembagian tugas sebagai berikut: a) ada orang yang berprofesi sebagai penjaja jagung bakar, mereka memiliki lapak, mereka yang berhadapan langsung dengan pembeli atau penikmat jagung bakar, b) ada orang yang berprofesi sebagai bongkar pasang lapak. Mereka akan memasang lapak menjelang sore dan membongkar lapak menjelang pagi, c) ada orang yang berfungsi menyuplai jagung, mereka akan mengantarkan jagung dalam karung ke penjaja dan meminta pembayaran jagung mentah setelah penjaja jagung mampu menjual jagung bakar, biasanya malam itu juga mereka membayar pada penyuplai jagung, d) Ada orang yang berfungsi menyediakan minuman dingin, mulai dari teh botol, air kemasan dan soft drink. Mereka langsung meletakan barang disitu, tanpa menghitung dulu berapa jumlah minuman ringannya. Penjaja jagung akan membayar sejumlah uang berdasarkan berapa minuman yang terjual, e) ada orang yang berfungsi menyediakan bumbu dan mentega untuk jagung bakar, dan f) ada orang yang berfungsi sebagai keamanan area dagang penjaja jagung bakar.
          Kerjasama yang terjadi pada komunitas penjaja jagung bakar tersebut, memiliki ciri-ciri: 1) sudah ada pembagian tugas, 2) ada saling kepercayaan, 3) tidak ada aturan baku tertulis, tetapi yang dikembangkan adalah aturan yang tidak saling merugikan, 4) pengumpulan dana secara sukarela, 5) ada usaha untuk mencapai tujuan bersama. Kerjasama informal lebih dikembangkan oleh komunitas sektor informal. Kondisi ini mencirikan mereka tidak menginginkan prosedur yang ribet dan kaku. Mereka lebih menyukai prosedur yang fleksibel, sesuai dengan kondisi mereka. Misalnya bila mereka belum mampu membayar, mereka akan minta tenggang waktu sampai dagangan mereka laku. Keadaan ini berbeda dengan kondisi kerjasama formal yang memiliki aturan baku, tertulis, jelas dan terperinci. Perbedaan kerjasama inilah, yang diduga mengakibatkan peran koperasi tidak begitu berhasil pada komunitas sektor informal masyarakat miskin perkotaan. Dalam komunitas pedagang sektor informal; frekuensi konflik secara terbuka, persaingan yang tajam hampir jarang terjadi. Mereka memiliki perasaan senasib, kesadaran kalau mereka merupakan orang yang memiliki harta benda terbatas sudah ada, sehingga mereka memiliki solidaritas yang kuat kalau ada sesuatu yang mengganggu keberlangsungan mereka. Umumnya mereka saling kenal antara pedagang yang satu dengan pedagang yang lainnya. Dalam komunitas tersebut timbul suatu aturan mereka tidak akan merugikan, atau mereka tidak akan menawarkan barang dengan harga yang berbeda pada pembeli yang menawar harga barang temannya. Bahkan kalau mereka tidak memiliki barang yang dimaksud oleh pembeli mereka akan mencarikan barang tersebut ke tempat penjual lainnya, dan mereka hanya akan mendapatkan keuntungan yang dicari sendiri dari pembeli (golek dewe). Di beberapa kawasan seperti pasar Kobong, dan pasar Johar Semarang; sulit dibedakan antara pemilik modal besar, pemilik modal kecil, dan penghubung (makelar). Kondisi ini disebabkan bentuk kiosatau lapak mereka hampir sama, sehingga hanya orang yang sering berinteraksi di pasar yang akan paham siapa yang memiliki modal besar, siapa yang memiliki modal kecil dan siapa yang berfungsi sebagai penghubung. Suatu contoh pada pedagang gula Jawa, sulit untuk dibedakan apakah mereka yang menjajakan gula di suatu lapak itu mereka yang memiliki modal besar atau tidak. Dari segi harga tidak ada perbedaan yang menyolok antara yang modal besar maupun yang modal kecil. Antar mereka tidak saling tunjuk dan memberitahukan kepada pembeli, siapa sebenarnya yang bermodal besar. Yang bermodal besar biasanya bertindak sebagai grosir, sedangkan bermodal kecil biasanya bertindak sebagai penjual biasa. Yang bermodal kecil dapat nyempil (menjualkan barang dagangan yang bermodal besar) dan mereka akan diberi keuntungan dari selisih harga dasar. Dalam komunitas pedagang sektor informal, muncul fungsi penghubung (makelar) yakni mereka yang tidak memiliki lapak tetapi mereka memiliki info siapa menginginkan apa, kualitasnya seperti apa, harganya berapa. Penghubung biasanya langsung kontak ke pedagang ketika mereka mendapatkan pembeli. Mereka berani menawarkan sesuatu terhadap pembeli. Bila harga telah disepakati, penghubung kembali kontak kepada penjual dan biasanya harga sedikit lebih mahal, tetapi perbedaannya tidak begitu menyolok. Antara penghubung, pedagang modal kecil, dan pedagang modal besar timbul aturan yang tidak tertulis bahwa mereka tidak diperbolehkan saling menjatuhkan dan merugikan. Mereka harus saling dukung mendukung untuk menjual suatu barang. Dalam penelitian ini tidak ditemukan apakah
ada pelaku yang dikenai sanksi sosial ketika mereka melanggar kesepakatan. Menurut mereka, jarang ada dalam komunitas ini yang mengingkari kesepakatan misalnya janjinya akan diberi persen (imbalan/ discount) 5 % tetapi setelah barang terjual mereka diberi 2 %. Bahkan menurut mereka hampir tidak pernah terjadi.
Jaringan dan Koneksi dalam Komunitas
          Kontruksi tolong menolong menurut komunitas pedagang sektor informal adalah sebagai usaha membantu seseorang untuk meringankan beban, menunjukkan kesetiakawanan (perasaan senasib), berusaha melindungi temannya bila ada sesuatu yang akan menganggunya, dan usaha untuk membantu sesama pedagang ketika terjadi kesulitan diantara mereka. Karakteristik tolong menolong yang dikembangkan oleh mereka sebagai berikut; 1) untuk tujuan jangka pendek, mereka hanya akan membantu sesama untuk waktu yang pendek, kondisi ini disebabkan kemampuan dan daya dukung materi yang mereka miliki juga terbatas. Mereka belum terpikirkan mengembangkan suatu organisasi yang dapat digunakan oleh mereka untuk tujuan menolong mereka di saat sulit, 2) tolong menolong diantara mereka sekedar untuk meringankan beban, lebih bersifat spontanitas dengan jumlah yang ala kadarnya, 3) dalam tolong menolong, mereka mengenal keintiman hubungan sesama manusia yaitu orang dekat dan orang jauh. Orang dekat adalah orang yang akrab dengan kehidupan mereka bisa sebagai saudara, tetangga, atau orang lain tetapi memiliki kecocokan perasaan, sedangkan orang jauh adalah orang yang mereka kenal tetapi belum memiliki kecocokan perasaan di antara mereka. Terkait kemampuan penggunaan jaringan dan koneksi dalam komunitas, dapat dibuat kategorisasi saling tolong menolong diantara anggota komunitas pedagang sektor informal sebagai berikut; 1) Saling tolong menolong untuk kegiatan produktif. Dalam komunitas ini kategorisasi saling tolong menolong untuk kegiatan produktif masih jarang terjadi. Dalam penelitian ini lebih dijumpai ciri simbiosis mutualisme dibandingkan sebagai usaha yang terencana untuk pengembangan usaha secara bersama-sama. Kondisi ini terlihat adanya saling tolong menolong untuk kegiatan produktif ketika terjadi transaksi atau ada imbalan yang akan didapatkan ketika imbalan yang akan didapatkan dihitung memerlukan waktu yang lama, maka mereka tidak akan melakukan aktivitas itu atau menolak untuk saling tolong menolong. 2) Saling tolong menolong untuk tujuan sosial. Kategorisasi
tolong menolong ini paling sering terjadi diantara anggota komunitas. Mereka iuran untuk besuk anggota komunitas yang sakit, atau mereka menghadiri kondangan yang diselenggarakan anggota komunitas. Saling tolong menolong untuk kegiatan sosial yang memerlukan biaya besar cenderung mereka tolak. 3) Saling tolong menolong bersifat individual. Kategorisasi tolong menolong ini lebih dipengaruhi oleh suka atau tidak suka, serta kedekatan hubungan diantara anggota komunitas. Anggota komunitas pedagang informal satu dengan yang lainnya kadangkala masih terkait hubungan keluarga misalnya mereka masih satu kakek, atau mereka masih satu kampung. Saling tolong menolong kategorisasi ini kadang terjadi lebih intensif tetapi tidak berlaku umum. Untuk mengembangkan kohesivitas kelompok maka di beberapa komunitas pedagang informal memiliki mekanisme silaturahmi informal diantara mereka, seperti saling mengunjungi rumah anggota komunitas (dalam penelitian ini di jumpai bahwa anggota komunitas pedagang informal banyak yang
tinggal di kawasan yang berbeda atau tidak mengelompok). Kunjungan ke rumah anggota komunitas ini dilakukan pada momentum lebaran, acara keluarga dan kegiatan sosial lainnya. Dalam silaturahmi jarang dibahas persoalan bisnis atau pengembangan usaha. Mereka lebih sering membahas persoalan
yang ringan (entheng) bahkan lebih banyak basa basinya dibandingkan pembicaraan kearah pengembangan usaha. Kohesivitas komunitas pedagang informal dapat dikategorikan tinggi. Kondisi
ini ditunjukan dari adanya pengertian tentang saya (anggota komunitas) dan kamu (bukan anggota). Misalnya bila anggota komunitas membutuhkan sesuatu barang yang dapat dibeli dari anggota komunitas lainnya, maka mereka harus memberikan harga yang lebih murah dibandingkan harga barang yang dibeli oleh bukan anggota komunitas. Meskipun kohesivitas komunitas pedagang informal tinggi, dengan analisis SWOT dijumpai kelemahan-kelemahan dari komunitas pedagang informal sebagai berikut: 1) belum mampu menggunakan kemampuan sosial mereka untuk mengatasi
problem peningkatan penghasilan. 2) ketika mereka mengelompok untuk mengatas problem lebih bersifat reaktif, 3) kemampuan untuk memupuk modal guna kegiatan produktif sangat rendah, 4) belum tumbuh pemikiran pengembangan usaha berbasis kawasan, 5) daya inovatif sangat rendah, 6)
Kemampuan berorganisasi hanya digunakan untuk tujuan sosial, 7) Rasa saling percaya telah tumbuh, tetapi sebatas pada kategori kerjasama rendah, 8) Belum tumbuh kepercayaan bahwa peningkatan pendapatan dapat dicapai kalau mereka melakukan kerjasama secara baik.

Konsepsi Peran Modal Sosial dalam Penanggulangan Kemiskinan Komunitas Pedagang Sektor Informal

          Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil menjelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil. Usaha kecil tersebut terbagi menjadi; a) usaha kecil formal, b) usaha kecil informal dan c) usaha kecil tradisional.
Usaha kecil formal adalah usaha yang telah terdaftar, tercatat dan telah berbadan hukum, sementara usaha kecil informal adalah usaha yang belum terdaftar, belum tercatat dan belum berbadan hukum. Contoh usaha kecil informal antara lain pedagang kaki lima, pedagang pasar, pedagang asongan, petani, dan pemulung. Usaha kecil tradisional adalah usaha yang menggunakan alat produksi sederhana yang telah digunakan secara turun temurun dan/atau berkaitan dengan seni dan budaya. Usaha kecil informal seringkali digunakan sebagai alternatif terakhir ketika seseorang tidak dapat melanjutkan sekolahnya, tetapi mereka memiliki modal yang minim, mereka memiliki usaha baik yang berasal dari turunan keluarga maupun dari ide sendiri. Pada penelitian ini ditemukan bahwa mereka yang terjun sebagai pedagang sektor informal memiliki beragam latar belakang. Latar belakang seseorang terjun menjadi pedagang sektor informal antara lain; 1) meneruskan usaha orang tuanya, 2) keterpaksaan karena mereka tidak memiliki ijasah untuk melamar pekerjaan, 3) memang berniat terjun sebagai wiraswasta, dan 4) coba-caba untuk usaha siapa tahu berhasil. Berdasarkan skill atau kemampuan berdagang, mereka menyatakan bahwa mereka berdagang tanpa menggunakan teori
sama sekali, mereka hanya berbekal berapa harga membeli barang dan berapa yang harus mereka jual kembali. Mereka mengaku tidak memiliki teknik promosi, strategi pengadaan barang dan penjualan. Bahkan pencatatan untung dan rugi, mereka tidak melakukan. Mereka beranggapan pembuatan neraca untung rugi tidak diperlukan, bagi mereka yang penting ada barang mereka beli, lantas mereka menjual barang tersebut di atas harga belinya. Dalam penelitian ini, dijumpai masih jarang pedagang sektor informal yang menggunakan logo atau nama usahanya. Mereka belum memiliki kesadaran untuk menggaet pembeli lewat iklan atau penyebaran brosur. Ada beberapa pedagang yang telah memasang nama dengan menggunakan MMT, tetapi nama yang terpasang belum dapat menunjukkan ciri atau karakter dari usaha pedagang tersebut. Misalnya di Pasar Kobong pada usaha penggilingan biji kering seperti lada dan kopi, tempat usahanya hanya menggunakan tulisan cat yang dituliskan pada triplek kecil. Tulisan tersebut tidak memperhatikan desain promosi. Pedagang lainnya juga berperilaku sama, yakni tidak menggunakan media promosi berupa tulisan. Berdasarkan temuan tersebut, tentu kita berpikir bahwa usaha untuk mengentaskan kemiskinan pada sektor informal harus
dilakukan dengan meningkatkan pendapatan mereka. Timbul suatu persoalan disini, bagaimana mengkaitkan antara peran modal sosial dan penanggulangan kemiskinan. Dalam penelitian ini telah ditemukan ; 1) komunitas pedagang sektor informal memiliki latar belakang yang beragam, 2) komunitas pedagang sektor informal memiliki skill yang beragam, 3) komunitas pedagang sektor informal biasanya menempati suatu kawasan tertentu yang memiliki ciri sebagai berikut; a) kawasan yang padat dan berimpit, b) kawasan dengan sanitasi kesehatan yang buruk, c)kawasan yang menanti pembeli. 4) komunitas pedagang sektor informal lebih menyukai kegiatan informal dibandingkan bentuk yang formal, dan 5) kerjasama yang produktif sudah terjadi tetapi belum optimal. Berdasarkan temuan penelitian dapat dibuat suatu konsep bahwa pemberdayaan pedagang sektor informal harus dilakukan dengan menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut: 1) Berbasiskan kawasan, pedagang sektor informal harus disadarkan agar secara bersama sadar untuk mengoptimalkan potensi kawasan dengan menggunakan kekuatan sosial mereka. Misalnya mengadakan kerja bakti untuk membersihkan area dagang mereka, melakukan pengecatan, menciptakan area dagang mereka sebagai salah satu tempat rekreasi atau tujuan wisata. Intinya adalah bagaimana membuat kawasan dagang sektor informal menjadi tempat yang menarik dan tidak kumuh. Tentu saja penciptaan kawasan menjadi menarik harus didukung oleh pemerintah daerah. Misalnya Yogyakarta dengan Malioboronya.2) Kawasan yang dikembangkan berdasarkan karakteristik, jenis dagangan, sarana fisik berdagang dan pola penyebaran dari pedagang sektor informal tertentu, misalnya tidak mencampuradukkan antara pedagang daging dengan pedagang kain dan sebaliknya. Kawasan tersebut dikembangkan dan dipromosikan sehingga orang akan langsung menuju kawasan X bila menginginkan barang Y. 3) Penciptaan organisasi lebih berorientasi bottom up dan bersifat informal. Pedagang sektor informal harus diberdayakan agar memiliki kesadaran untuk berorganisasi guna mengatasi permasalahan mereka. Organisasi bentukan mereka harus lebih difokuskan guna peningkatan produktivitas usaha disamping berfungsi sosial. Organisasi bentukan mereka juga harus dapat digunakan sebagai tempat pelatihan dan peningkatan modal usaha. 4) Peran pemerintah daerah sebatas katalisator saja. Pemerintah daerah harus membatasi perannya; dari penentu menuju pendorong. Pemerintah daerah harus ditempatkan sebagai sub sistem pembantu dan penasihat. 5) Pemerintah daerah dan masyarakat harus mengubah paradigma bahwa pedagang sektor informal adalah mitra masyarakat yang terpercaya yang dapat dijadikan sarana untuk mobilisasi vertikal. 6) Mengkaitkan antara sektor pariwisata dengan kawasan dagang pedagang sektor informal misalnya pasar semawis di kawasan pecinan Semarang, pedagang makanan dan oleh-oleh di kawasan Pandanaran. 7) Mengadakan even-even kegiatan yang dapat digunakan untuk ajang promosi para pedagang sektor informal. Yang menjadi panitia dalam kegiatan ini adalah para pedagang sendiri. 8) Melatih pedagang sektor informal untuk membuat perencanaan, membuat tujuan dan melaksanakan kegiatan secara bersama-sama guna peningkatan area kawasan dagang. 9) Melakukan pembimbingan
terkait manajerial usaha dan perluasan jaringan usaha. 10) Diciptakan tanggungjawab sosial yakni pedagang yang berhasil harus membina pedagang yang kurang berhasil, dengan demikian tidak akan ada dominan dan sub ordinan. 11) Diciptakan norma-norma yang dapat dianut bersama yang berisi peningkatan produktivitas dengan menggunakan kekuatan sosial.
SIMPULAN
          Simpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :1) Kategorisasi kerjasama yang dilakukan dalam komunitas pedagang sektor informal masyarakat miskin perkotaan dapat terbagi dalam kategorisasi kerjasama rendah, sedang dan cukup. Kategorisasi dari kerjasama ini didasarkan pada sejauhmana mereka dapat memupuk modal yang dapat digunakan sebagai modal usaha dari interaksi mereka.Kerjasama tinggi sangat jarang terjadi sedangkan yang sering dilakukan adalah kerjasama rendah, 2)Pedagang sektor informal lebih menyukai kerjasama dalam bentuk informal dibandingkan dalam struktur resmi (formal). Dalam penelitian ini telah terjadi kerjasama yang saling dukung mendukung tetapi lebih bersifat informal, 3) Ditemukan dugaan alasan koperasi tidak dapat berkembang dalam komunitas pedagang sektor informal. Hal ini disebabkan koperasi lebih bersifat formal, 4) Dalam penelitian ini dapat dibuat kategorisasi “tolong menolong” dalam komunitas pedagang sektor informal sebagai berikut; a) tolong menolong untuk kegiatan produktif. Kategorisasi ini jarang dilakukan. b) Kategorisasi tolong menolong untuk kegiatan sosial. Kategorisasi ini sering dilakukan. c) tolong menolong untuk kegiatan individual. Kategorisasi ini sering dilakukan, 5) Kohesivitas komunitas pedagang informal dapat dikategorikan tinggi. Kondisi ini ditunjukkan dari adanya pengertian tentang saya (anggota komunitas) dan kamu (bukan anggota), 6)kelemahan-kelemahan dari komunitas pedagang informal sebagai berikut: a) belum mampu menggunakan kemampuan sosial mereka untuk mengatasi problem peningkatan penghasilan. b) Ketika mereka mengelompok untuk mengatas problem lebih bersifat reaktif. c) kemampuan untuk memupuk modal guna kegiatan produktif sangat rendah, d) Belum tumbuh pemikiran pengembangan usaha berbasis kawasan, e) Daya inovatif sangat rendah, f) Kemampuan berorganisasi hanya digunakan untuk tujuan
sosial, g) Rasa saling percaya telah tumbuh, tetapi sebatas pada kategori kerjasama rendah, h) Belum tumbuh kepercayaan bahwa peningkatan pendapatan dapat dicapai kalau mereka melakukan kerjasama secara baik. Dalam penelitian ini telah ditemukan; 1) komunitas pedagang sektor informal
memiliki latar belakang yang beragam, 2) komunitas pedagang sektor informal memiliki skill yang beragam, 3) komunitas pedagang sektor informal biasanya menempati suatu kawasan tertentu yang memiliki ciri sebagai

0 komentar:

Posting Komentar