1. Kelas Sosial
(Kapitalis dan Plroletar)
Bagi Marx dan
Engels, kelas merupakan pengelompokan sosial paling mendasar pada masyarakat.[1] Kelas
sosial sendiri terus bertransformasi hingga akhirnya muncul kaum kapitalis dan
kaum proletar.
Pada awalnya, dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus melalui sebuah proses tindakan produktif (bekerja) untuk mengubah lingkungan alam agar bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia tidak bisa menyesuaikan diri secara fisiologis terhadap segala lingkungan alamiah. Untuk mengefektikan kerjanya, maka manusia dituntut untuk saling bekerjasama. Jadi hubungan sosial pokok atas semua hubungan sosial adalah hubungan produksi.
Dalam
buku The German Ideology (1846) Marx dan Engels[2]mengemukakan
ada empat corak produksi[3] atau formasi sosial dalam perjalanan sejarah
manusia, yaitu:
· Ragam kesukuan
yang terkait dengan bentuk produksi primitif seperti berburu-meramu,
penggembalaan, dan pengolahan lahan secara sederhana;
· Formasi sosial
perbudakan, seperti pada jaman Yunani dan Romawi kuno;
· Formasi sosial
feodal yang merujuk pada tatanan sosial-ekonomi Perancis dan Inggris sejak abad
ke-8 hingga menjelang revolusi Perancis (1789);
· Corak produksi
kapitalis yang sudah muncul sekitar abad ke-16 dan menjadi dominan
dengan revolusi industri.
Menurut Marx,
apabila masyarakat dilihat secara keseluruhan akan ada dua kelas utama yang
saling berhadapan dalam tatanan ekonomi kapitalis yaitu borjuis dan proletar.
Borjuis adalah sekelompok pemilik sarana produksi dan pembeli tenaga kerja,
sedangkan proletar adalah sekelompok orang yang tidak memiliki
sarana produksi dan hidup dari menjual tenaga kerjanya.[4] Borjuis sama
dengan kapitalis, kapitalis merupakan orang yang menghasilkan uang dengan uang.
Untuk
menghasilkan uang dari uangnya, maka kapitalis harus membuat relasi sosial
dengan proletariat dengan cara membeli tenaganya untuk dipekerjakan. Prinsip
ekonomi kapitalis adalah melakukan kegiatan ekonomi dengan biaya produksi
seminimal mungkin dan berusaha mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin. Maka,
untuk meminimalkan biaya produksi, kapitalis membeli murah tenaga
proletar. Dari sinilah muncul teori nilai-lebih yang dikemukakan oleh Marx.
a) Teori Nilai
Lebih
Dalam teori
nilai lebih, Marx mengemukakan bahwa kapitalis membayar buruh dengan harga yang
tidak sepadan dengan pekerjaan yang dilakukan si buruh. Caranya dengan tidak
menghentikan kerja seorang buruh ketika pekerjaan tersebut sudah menghasilkan
komoditi yang nilainya setara dengan tenaga siburuh yang dibelinya. Artinya
siburuh harus melakukan dua jenis kerja, yaitu kerja untuk menghasilkan nilai
yang setara dengan upah yang diperolehnya dan kerja untuk menghasilkan nilai
bagi si kapitalis.[5] Kerja lebih inilah yang menjadi ‘nilai lebih’
sebagai sumber utama keuntungan bagi si kapitalis.
Dengan hadirnya
teknologi, apabila dilihat secara sepintas tingkat kesejarteraan buruh relatif
meningkat, namun peningkatannya tidak sebanding dengan peningkatan kekayaan
kapitalis.
b) Teori Akumulasi
Kapital
Menurut Marx,
bukan karena pribadi si kapitalis yang serakah dan tidak berbudi yang
menyebabkan ia harus mengambil bagian ‘nilai-lebih’ lebih banyak.
Namun, hukum persaingan dalam kapitalisme mewajibkan setiap kapitalis
meningkatkan keuntungan agar bisa mengakumulasi dan mengembangkan kapitalnya
terus menerus demi mempertahankan usahanya dari persaingan dengan kapitalis-kapitalis
lainnya.
c) Teori Alienasi
Menurut Marx,
alienasi merupakan akibat dari hilangnya kontrol individu atas kegiatan
kreatifnya sendiri dan produksi yang dihasilkannya. Pekerjaan dialami sebagai
suatu keharusan untuk sekedar bertahan hidup dan tidak sebagai alat bagi
manusia untuk mengembangkan kemampuan kreatifnya. Alienasi melekat dalam setiap
sistem pembagian kerja dan pemilikan pribadi, tetapi bentuknya yang paling
ekstrem ada di dalam kapitalisme, dimana mekanisme pasar tersebut menurunkan kodrat
manusia menjadi komoditi. Bentuk ekstrem alienasi itu merupakan akibat dari
perampasan produk buruh oleh majikan kapitalisnya.
2. Konflik Sosial
dan Komunisme
Adanya
kesenjangan dan perbedaan distribusi kekayaan antara kapitalis dan proletar
menyebabkan timbulnya konflik antar kelas. Kelas buruh mengalami banyak
penindasan dan penghisapan dalam segala kemampuannya. Konflik antara kaum
kapitalis dan proletar merupakan titik sentral dari kajian Marx mengenai
masyarakat. Bahkan bagi Marx sebuah kelas dianggap benar-benar eksis ketika
orang menyadari bahwa ia sedang berkonflik dengan kelas-kelas lain. Tanpa
kesadaran ini, menurut Marx mereka hanya akan membentuk suatu kelas dalam
dirinya (Class in its Self), ketika mereka mulai menyadari konflik
terjadi, maka mereka menjadi suatu kelas yang sebenarnya atau sering disebut
kelas untuk dirinya (Class for its Self).
Segala macam
konflik mengasumsikan bentuk dari peningkatan-peningkatan konsolidasi terhadap
kekacauan.[6] Dalam pandangan Campbell, Marx melihat masyarakat sebagai
sebuah proses perkembangan yang akan menyudahi konflik dengan konflik.[7] Namun
pertentangan kelas dari segi ekonomi ini akan berakhir dengan sebuah keadaan
masyarakat tanpa kelas, tanpa konflik dan kreatif yang dinamakan ‘komunis’.
Ketika kaum
proletariat sudah menjadi satu kesatua bertindak yang meliputi seluruh dunia,
maka Marx meramalakan akan terjadi revolusi kaum buruh dengan cara merampas
paksa semua alat produksi yang selama ini telah menjadi alat penindas kapitalis
terhadap proletar. Revolusi tersebut menjadi penutup tahap sejarah kapitalis
dan akan muncul tahap sejarah baru komunis. Dalam tahap komunis, manusia akan
benar-benar menjadi subjek sejarah dimana dapat mengatur hubungannya dengan
alam secara rasional yang menguasai proses produksi. Sisa-sisa masyarakat
kapitalis akan segera disingkirkan oleh para diktator proletariat. Apabila
semua hal tersebut sudah terpenuhi, maka negara akan berangsur-angsur lenyap
karena sudah tidak diperlukan lagi.
3. Agama dan
Ideologi
Marx memandang
agama sebagai sebuah ideologi dimana Marx menempatkan agama dalam konteks
sosial-historis. Sebagai sebuah ideologi, agama berfungsi sebagai seperangkat
sanksi moral, khayal, penghibur atas kondisi ketidakadilan, penyelubung
kenyataan dan pembenar ketidaksetaraan.[8]
Marx menganggap
agama sebagai perwujudan dari rasa ketertindasan dan pembenaran atas tatanan
sosial yang ada. Agama menjadi candu bagi masyarakat. Marx menekankan bahwa
agama sebenarnya muncul dari kondisi material tertentu bukan dari wahyu atau
gagasan kreatif yang muncul begitu saja karena ilham illahiyah tanpa adanya
pergulatan dialektik antara kesadaran dengan lingkungan. Ia melihat bahwa agama
berlaku atas masyarakat bagaikan candu yang meringankan penderitaan, tetapi
tidak menghilangkan keadaan yang memunculkan penderitaan tersebut. menurutnya
agama semata-mata bersifat menenangkan orang dan memungkinkan orang-orang yang
berada dibawah pengaruh agama tersebut menerima begitu saja keadaan sosial
karena perhatian mereka dialihkan kepada harapan akan kebahagiaan kehidupan di
kemudian hari dimana semua penderitaan dan kesengsaraan akan lenyap untuk
selama-lamanya (alam akhirat).
Hubugan erat
antara kondisi-kondisi kehidupa material dan suprastruktur sulit untuk
diidentifikasi adalah karena ideologi-ideologi itu memberikan ketimpangan dan
kekukurangan dalam kehidupan material. Akibatnya, meskipun ideologi itu
mencerminkan dan hubungan-hubungan produksi dalam masyarakat,
cerminan itu seringkali menyimpang atau dalam istilah Marx sebagai “suatu
kesadaran-dunia yang terbalik”.[9] Saat ideologi-ideologi tersebut menjadi
kesadaran subjektif seseorang akan menyebabkan individu tersebut
tidak mampu menyadari kepentingan mereka yang sesungguhnya. Contohnya seseorang
buruh lebih menunjuk sebab kemiskinan yang dideritanya karena nasib atau taqdir
dibanding karena praktik penghisapan para kapitalis.
4. Negara
Dalam pandangan
Marx, keberadaan negara dikaitkan dengan kemunculan kelas-kelas dan
pertentangannya. Menurut Marx, negara adalah komite eksekutif kelas
penguasa. Negara adalah suatu badan politik yang terutama berfungsi
melindungi kepentingan ekonomi dan politik kelas sosial yang memegang dominasi.
Ketika masyarakat terpilah kedalam kelas-kelas, maka negara menjadi suatu
keharusan dari sudut pandang kelas dominan.
Meskipun Marx
menempatkan negara sebagai sarana kelas dominan, namun ia juga membedakan
antara elite politik dengan elite ekonomi dalam kelas dominan. Marx memandang
bahwa kelas dominan tidaklah seragam. Ada banyak faksi dan kepentingan
berlainan di dalamnya. Untuk itu, negara bertindak lanyaknya lembaga mandiri.
Metodologi yang
digunakan Karl Marx
Pendekatan yang
digunakan oleh Karl Marx untuk menemukan hukum-hukum yang mendasari segala
perubahan dalam sejarah adalah materialisme historis. Istilah
materialisme historis sendiri bukan secara langsung dikemukakan oleh Marx,
namun istilah ini sebenarnya penamaan oleh para penulis setelah Marx. Di dalam
buku The German Ideology yang Marx tulis bersama sahabat
Engels, disebutkan pendekatan sejarah empirisnya dengan pandangan
materialis atas sejarah.
Materialisme
historis merupakan pendekatan sejarah empiris, maksudnya melalui
pengamatan atas peristiwa-peristiwa historis yang terjadi dapat ditemukan
hukum-hukum pergerakan sejarah.[10] Pengetahuan terhadap hukum sejarah
dapat dijadikan sebagai bahan informasi untuk meramalkan masa depan.
Dalam pandangan
Marx, fungsi dari pengetahuan bukanlah untuk pengetahuan itu sendiri, melainkan
harus menjadi praktik. Oleh karena itu upaya-upaya yang dilakukan
Marx untuk menemukan hukum-hukum yang mendasari segala perubahan
dalam sejarah adalah untuk ikut aktif menentukan arahnya. Marx memandang bahwa
pengetahuan harus digunakan untuk menegakan keadilan dan untuk menguak
kenyataan yang sebenarnya dari kabut kesadaran palsu yang telah membuat manusia
terasing dari lingkungan dan serta dirinya sendiri.
Sebagian besar
karier hidup Marx dihabiskan untuk kegiatan revolusionernya dangan menganalisis
sejarah masyarakat berkelas yang pada khususnya adalah masyarakat borjuis.
Analisisnya ini bukan saja hanya untuk mengetahui hukum-hukum yang menjadi
benteng pertahanan kelas tersebut, melainkan juga untuk
merobohkan kelas masyarakat tersebut.
Dasar-dasar
materialisme historis adalah pandangan bahwa sejarah berisi manusia yang nyata,
kegiatan-kegiatan mereka, dan kondisi material kehidupan baik yang ditemukan
sudah ada sebelumnya ataupun yang dihasilkan oleh kegiatan-kegiatan mereka
melalui kerja. Menurut Marx, premis pertama sejarah manusia adalah keberadaan
manusia yang sedang hidup dan menghidupkan sejarah. [11] Oleh sebab
itu pertama-tama yang paling penting untuk diperhatikan adalah hubungan antar
individu beserta hubungan antara mereka dengan lingkungan.
Marx menempatkan
manusia ‘yang berdarah-berdaging’, yang bergulat langsung dengan lingkungan
materialnya sebagai pelakon utama dalam drama sejarah.[12] Apabila Hegel
mempunyai gagasan bahwa Tuhanlah yang menciptakan manusia, sementara Feuerbach
bergagasan bahwa manusialah yang menciptkan Tuhan, maka Karl Marx mempunyai
gagasan bahwa manusialah yang menciptakan sejarah yang kemudian menciptakan
Tuhan. Marx menempatkan manusia sebagai tujuan tertinggi pembebasan dari
keterbelengguan hubungan-hubungan sosial yang menindas.
Sumber
Referensi
Anwar, Yasmi
& Adang. Sosiologi untuk Universitas. Bandung: Refika
Aditama, 2013.
Bachtiar,
Wardi. Sosiologi Klasik (Dari Comte hingga Parsons). Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2010.
Jauhari, Imam
B. Teori Ilmu Sosial (Proses Islamisasi dalam Ilmu Pengetahuan).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Mulyanto,
Dede. Antropologi Marx (Karl Marx tentang Masyarakat dan
Kebudayaan). Bandung: Ultimus, 2011.
Ramly, Andi
M. Peta Pemikiran Karl Marx (Materialisme Dialektis dan Materialisme
Historis). Yogyakarta: LKiS, 2009.
Yuana, Kumara
Ari. The Greatest Philoshophers (100 Tokoh Filsuf Barat Abad 6 SM –
Abad 21). Yogyakarta: Andi Offset, 2010.
[1] Lihat : Dede
Mulyanto. Antropologi Marx (Karl Marx tentang Masyarakat dan
Kebudayaan). Bandung : Ultimus, 2011. Hlm. 107
[2] Ibid., Hlm. 67
[3] Corak produksi
adalah gabungan kompleks antara kekuatan dan hubungan produksi yang
memungkinkan masyarakat memproduksi kebutuhan materialnya.
[4] Ibid., hlm. 108
[5] Ibid., hlm. 168
[6] Wardi
Bachtiar. Sosiologi Klasik (dari Comte Hingga Parsons). Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2010, hlm. 125
[7]Lihat di : Imam B. Jauhari. Teori Sosial
(Proses Islamisasi dalam Ilmu Pengetahuan). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2012, hlm. 69
[8] Dede
Mulyanto, Op.cit., hlm. 149
[9] Lihat di: Dede
Mulyanto, op.cit., hlm. 141
[10] Dede Mulyanto, op.cit.,
50
[11] Ibid. Hlm. 50
[12] Ibid. Hlm. 52
[13] Lihat di: Imam
B. Jauhari, op.cit., hlm. 77
[14] Mentoleransi
disini berarti : mendiamkan atau membiarkan
[15] Imam B.
Jauhar, op.cit., hlm. 78
0 komentar:
Posting Komentar