Rabu, 02 Desember 2015

Asumsi Teoritis dan Pokok Pemikiran Karl Marx

1.      Kelas Sosial (Kapitalis dan Plroletar)
Bagi Marx dan Engels, kelas merupakan pengelompokan sosial paling mendasar pada masyarakat.[1] Kelas sosial sendiri terus bertransformasi hingga akhirnya muncul kaum kapitalis dan kaum proletar.

Pada awalnya, dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus melalui sebuah proses tindakan produktif (bekerja) untuk mengubah lingkungan alam agar bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia tidak bisa menyesuaikan diri secara fisiologis terhadap segala lingkungan alamiah.  Untuk mengefektikan kerjanya, maka manusia dituntut untuk saling bekerjasama. Jadi hubungan sosial pokok atas semua hubungan sosial adalah hubungan produksi.
Dalam buku The German Ideology (1846) Marx dan Engels[2]mengemukakan ada empat corak produksi[3] atau formasi sosial dalam perjalanan sejarah manusia, yaitu:
·         Ragam kesukuan yang terkait dengan bentuk produksi primitif seperti berburu-meramu, penggembalaan, dan pengolahan lahan secara sederhana;
·         Formasi sosial perbudakan, seperti  pada jaman Yunani dan Romawi kuno;
·         Formasi sosial feodal yang merujuk pada tatanan sosial-ekonomi Perancis dan Inggris sejak abad ke-8 hingga menjelang revolusi Perancis (1789);
·         Corak produksi kapitalis  yang sudah muncul sekitar abad ke-16 dan menjadi dominan dengan revolusi industri.
Menurut Marx, apabila masyarakat dilihat secara keseluruhan akan ada dua kelas utama yang saling berhadapan dalam tatanan ekonomi kapitalis yaitu borjuis dan proletar. Borjuis adalah sekelompok pemilik sarana produksi dan pembeli tenaga kerja, sedangkan proletar adalah  sekelompok orang yang tidak memiliki sarana produksi dan hidup dari menjual tenaga kerjanya.[4] Borjuis sama dengan kapitalis, kapitalis merupakan orang yang menghasilkan uang dengan uang.
Untuk menghasilkan uang dari uangnya, maka kapitalis harus membuat relasi sosial dengan proletariat dengan cara membeli tenaganya untuk dipekerjakan. Prinsip ekonomi kapitalis adalah melakukan kegiatan ekonomi dengan biaya produksi seminimal mungkin dan berusaha mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin. Maka, untuk meminimalkan biaya produksi, kapitalis membeli murah  tenaga proletar. Dari sinilah muncul teori nilai-lebih yang dikemukakan oleh Marx.
a)      Teori Nilai Lebih
Dalam teori nilai lebih, Marx mengemukakan bahwa kapitalis membayar buruh dengan harga yang tidak sepadan dengan pekerjaan yang dilakukan si buruh. Caranya dengan tidak menghentikan kerja seorang buruh ketika pekerjaan tersebut sudah menghasilkan komoditi yang nilainya setara dengan tenaga siburuh yang dibelinya. Artinya siburuh harus melakukan dua jenis kerja, yaitu kerja untuk menghasilkan nilai yang setara dengan upah yang diperolehnya dan kerja untuk menghasilkan nilai bagi si kapitalis.[5] Kerja lebih inilah yang menjadi ‘nilai lebih’ sebagai sumber utama keuntungan bagi si kapitalis.
Dengan hadirnya teknologi, apabila dilihat secara sepintas tingkat kesejarteraan buruh relatif meningkat, namun peningkatannya tidak sebanding dengan peningkatan kekayaan kapitalis.
b)      Teori Akumulasi Kapital
Menurut Marx, bukan karena pribadi si kapitalis yang serakah dan tidak berbudi yang menyebabkan ia harus mengambil bagian ‘nilai-lebih’ lebih banyak. Namun, hukum persaingan dalam kapitalisme mewajibkan setiap kapitalis meningkatkan keuntungan agar bisa mengakumulasi dan mengembangkan kapitalnya terus menerus demi mempertahankan usahanya dari persaingan dengan kapitalis-kapitalis lainnya.
c)      Teori Alienasi
Menurut Marx, alienasi merupakan akibat dari hilangnya kontrol individu atas kegiatan kreatifnya sendiri dan produksi yang dihasilkannya. Pekerjaan dialami sebagai suatu keharusan untuk sekedar bertahan hidup dan tidak sebagai alat bagi manusia untuk mengembangkan kemampuan kreatifnya. Alienasi melekat dalam setiap sistem pembagian kerja dan pemilikan pribadi, tetapi bentuknya yang paling ekstrem ada di dalam kapitalisme, dimana mekanisme pasar tersebut menurunkan kodrat manusia menjadi komoditi. Bentuk ekstrem alienasi itu merupakan akibat dari perampasan produk buruh oleh majikan kapitalisnya.

2.      Konflik Sosial dan Komunisme
Adanya kesenjangan dan perbedaan distribusi kekayaan antara kapitalis dan proletar menyebabkan timbulnya konflik antar kelas. Kelas buruh mengalami banyak penindasan dan penghisapan dalam segala kemampuannya. Konflik antara kaum kapitalis dan proletar merupakan titik sentral dari kajian Marx mengenai masyarakat. Bahkan bagi Marx sebuah kelas dianggap benar-benar eksis ketika orang menyadari bahwa ia sedang berkonflik dengan kelas-kelas lain. Tanpa kesadaran ini, menurut Marx mereka hanya akan membentuk suatu kelas dalam dirinya (Class in its Self), ketika mereka mulai menyadari konflik terjadi, maka mereka menjadi suatu kelas yang sebenarnya atau sering disebut kelas untuk dirinya (Class for its Self).
Segala macam konflik mengasumsikan bentuk dari peningkatan-peningkatan konsolidasi terhadap kekacauan.[6] Dalam pandangan Campbell, Marx melihat masyarakat sebagai sebuah proses perkembangan yang akan menyudahi konflik dengan konflik.[7] Namun pertentangan kelas dari segi ekonomi ini akan berakhir dengan sebuah keadaan masyarakat tanpa kelas, tanpa konflik dan kreatif yang dinamakan ‘komunis’.
Ketika kaum proletariat sudah menjadi satu kesatua bertindak yang meliputi seluruh dunia, maka Marx meramalakan akan terjadi revolusi kaum buruh dengan cara merampas paksa semua alat produksi yang selama ini telah menjadi alat penindas kapitalis terhadap proletar. Revolusi tersebut menjadi penutup tahap sejarah kapitalis dan akan muncul tahap sejarah baru komunis. Dalam tahap komunis, manusia akan benar-benar menjadi subjek sejarah dimana dapat mengatur hubungannya dengan alam secara rasional yang menguasai proses produksi. Sisa-sisa masyarakat kapitalis akan segera disingkirkan oleh para diktator proletariat. Apabila semua hal tersebut sudah terpenuhi, maka negara akan berangsur-angsur lenyap karena sudah tidak diperlukan lagi.
3.      Agama dan Ideologi
Marx memandang agama sebagai sebuah ideologi dimana Marx menempatkan agama dalam konteks sosial-historis. Sebagai sebuah ideologi, agama berfungsi sebagai seperangkat sanksi moral, khayal, penghibur atas kondisi ketidakadilan, penyelubung kenyataan dan pembenar ketidaksetaraan.[8]
Marx menganggap agama sebagai perwujudan dari rasa ketertindasan dan pembenaran atas tatanan sosial yang ada. Agama menjadi candu bagi masyarakat. Marx menekankan bahwa agama sebenarnya muncul dari kondisi material tertentu bukan dari wahyu atau gagasan kreatif yang muncul begitu saja karena ilham illahiyah tanpa adanya pergulatan dialektik antara kesadaran dengan lingkungan. Ia melihat bahwa agama berlaku atas masyarakat bagaikan candu yang meringankan penderitaan, tetapi tidak menghilangkan keadaan yang memunculkan penderitaan tersebut. menurutnya agama semata-mata bersifat menenangkan orang dan memungkinkan orang-orang yang berada dibawah pengaruh agama tersebut menerima begitu saja keadaan sosial karena perhatian mereka dialihkan kepada harapan akan kebahagiaan kehidupan di kemudian hari dimana semua penderitaan dan kesengsaraan akan lenyap untuk selama-lamanya (alam akhirat).
Hubugan erat antara kondisi-kondisi kehidupa material dan suprastruktur sulit untuk diidentifikasi adalah karena ideologi-ideologi itu memberikan ketimpangan dan kekukurangan dalam kehidupan material. Akibatnya, meskipun ideologi itu mencerminkan  dan hubungan-hubungan produksi dalam masyarakat, cerminan itu seringkali menyimpang atau dalam istilah Marx sebagai “suatu kesadaran-dunia yang terbalik”.[9] Saat ideologi-ideologi tersebut menjadi kesadaran subjektif  seseorang akan menyebabkan individu tersebut tidak mampu menyadari kepentingan mereka yang sesungguhnya. Contohnya seseorang buruh lebih menunjuk sebab kemiskinan yang dideritanya karena nasib atau taqdir dibanding karena praktik penghisapan para kapitalis.
4.      Negara
Dalam pandangan Marx, keberadaan negara dikaitkan dengan kemunculan kelas-kelas  dan pertentangannya. Menurut Marx, negara adalah komite eksekutif kelas penguasa. Negara adalah suatu badan politik  yang terutama berfungsi melindungi kepentingan ekonomi dan politik kelas sosial yang memegang dominasi. Ketika masyarakat terpilah kedalam kelas-kelas, maka negara menjadi suatu keharusan dari sudut pandang kelas dominan.
Meskipun Marx menempatkan negara sebagai sarana kelas dominan, namun ia juga membedakan antara elite politik dengan elite ekonomi dalam kelas dominan. Marx memandang bahwa kelas dominan tidaklah seragam. Ada banyak faksi dan kepentingan berlainan di dalamnya. Untuk itu, negara bertindak lanyaknya lembaga mandiri.

Metodologi yang digunakan Karl Marx
Pendekatan yang digunakan oleh Karl Marx untuk menemukan hukum-hukum yang mendasari segala perubahan dalam sejarah adalah  materialisme historis. Istilah materialisme historis sendiri bukan secara langsung dikemukakan oleh Marx, namun istilah ini sebenarnya penamaan oleh para penulis setelah Marx. Di dalam buku The German Ideology  yang Marx tulis bersama sahabat Engels, disebutkan  pendekatan sejarah empirisnya dengan pandangan materialis atas sejarah.
Materialisme historis merupakan pendekatan sejarah empiris, maksudnya melalui pengamatan atas peristiwa-peristiwa historis yang terjadi dapat ditemukan hukum-hukum pergerakan sejarah.[10] Pengetahuan terhadap hukum sejarah dapat dijadikan sebagai bahan informasi untuk meramalkan masa depan.
Dalam pandangan Marx, fungsi dari pengetahuan bukanlah untuk pengetahuan itu sendiri, melainkan harus menjadi praktik. Oleh karena itu upaya-upaya yang dilakukan Marx  untuk menemukan hukum-hukum yang mendasari segala perubahan dalam sejarah adalah untuk ikut aktif menentukan arahnya. Marx memandang bahwa pengetahuan harus digunakan untuk menegakan keadilan dan untuk menguak kenyataan yang sebenarnya dari kabut kesadaran palsu yang telah membuat manusia terasing dari lingkungan dan serta dirinya sendiri.
Sebagian besar karier hidup Marx dihabiskan untuk kegiatan revolusionernya dangan menganalisis sejarah masyarakat berkelas yang pada khususnya adalah masyarakat borjuis. Analisisnya ini bukan saja hanya untuk mengetahui hukum-hukum yang menjadi benteng pertahanan  kelas tersebut, melainkan juga untuk merobohkan kelas masyarakat tersebut.
Dasar-dasar materialisme historis adalah pandangan bahwa sejarah berisi manusia yang nyata, kegiatan-kegiatan mereka, dan kondisi material kehidupan baik yang ditemukan sudah ada sebelumnya ataupun yang dihasilkan oleh kegiatan-kegiatan mereka melalui kerja. Menurut Marx, premis pertama sejarah manusia adalah keberadaan manusia yang sedang hidup dan menghidupkan sejarah. [11] Oleh sebab itu pertama-tama yang paling penting untuk diperhatikan adalah hubungan antar individu beserta hubungan antara mereka dengan lingkungan.
Marx menempatkan manusia ‘yang berdarah-berdaging’, yang bergulat langsung dengan lingkungan materialnya sebagai pelakon utama dalam drama sejarah.[12] Apabila Hegel mempunyai gagasan bahwa Tuhanlah yang menciptakan manusia, sementara Feuerbach bergagasan bahwa manusialah yang menciptkan Tuhan, maka Karl Marx mempunyai gagasan bahwa manusialah yang menciptakan sejarah yang kemudian menciptakan Tuhan. Marx menempatkan manusia sebagai tujuan tertinggi pembebasan dari keterbelengguan hubungan-hubungan sosial yang menindas.
Sumber Referensi
Anwar, Yasmi & Adang. Sosiologi untuk Universitas. Bandung: Refika Aditama, 2013.
Bachtiar, Wardi. Sosiologi Klasik (Dari Comte hingga Parsons). Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010.
Jauhari, Imam B. Teori Ilmu Sosial (Proses Islamisasi dalam Ilmu Pengetahuan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Mulyanto, Dede. Antropologi Marx (Karl Marx tentang Masyarakat dan Kebudayaan). Bandung: Ultimus, 2011.
Ramly, Andi M. Peta Pemikiran Karl Marx (Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis). Yogyakarta: LKiS, 2009.
Yuana, Kumara Ari. The Greatest Philoshophers (100 Tokoh Filsuf Barat Abad 6 SM – Abad 21). Yogyakarta: Andi Offset, 2010. 


[1] Lihat : Dede Mulyanto.  Antropologi Marx (Karl Marx tentang Masyarakat dan Kebudayaan). Bandung : Ultimus, 2011. Hlm. 107
[2] Ibid., Hlm. 67
[3] Corak produksi adalah gabungan kompleks  antara kekuatan dan hubungan produksi yang memungkinkan masyarakat memproduksi kebutuhan materialnya.
[4] Ibid., hlm. 108
[5] Ibid., hlm. 168
[6] Wardi Bachtiar. Sosiologi Klasik (dari Comte Hingga Parsons). Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010, hlm. 125
[7]Lihat di : Imam B. Jauhari. Teori Sosial (Proses Islamisasi dalam Ilmu Pengetahuan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2012, hlm. 69
[8] Dede Mulyanto, Op.cit., hlm. 149
[9] Lihat di: Dede Mulyanto, op.cit., hlm. 141
[10] Dede Mulyanto, op.cit., 50
[11]  Ibid. Hlm. 50
[12] Ibid. Hlm. 52
[13] Lihat di: Imam B. Jauhari, op.cit., hlm. 77
[14] Mentoleransi disini berarti : mendiamkan atau membiarkan
[15] Imam B. Jauhar, op.cit., hlm. 78

0 komentar:

Posting Komentar