Tidak mudah sebenarnya untuk menunjukkan ciri-ciri umum etnografi-etnografi yang lahir dari tangan ahli antropologi Indonesia, karena hingga kini belum ada suatu telaahpun tentang etnografi-etnografi tersebut. Secara umum etnografi di Indonesia dapat dikategorikan sebagai berikut:
a. Etnografi Awam
Etnografi Awam adalah etnografi yang umumnya ditulis bukan oleh para ahli antropologi, namun mempunyai beberapa ciri yang tidak jauh berbeda dengan berbagai etnografi dari para ahli antropologi. Kebanyakan tulisan semacam ini berasal dari para wartawan, yang biasanya memang lebih banyak pengalaman lapangannya (bukan pengalaman penelitiannya) daripada ahli antropologi, serta banyak dimuat di berbagai surat kabar dan majalah-majalah populer. Etnografi Awam semacam ini juga banyak memuat informasi yang sering kita temukan dalam Etnografi Antropologis , namun dia berbeda dengan yang ke dua terutama dalam soal penggunaan konsep-konsep antropologis. Dalam Etnografi Awam konsep-konsep antropologis ataupun analitis yang biasa ditemui dalam Etnografi Antropologis jarang tampak atau kalaupun ada konsep tersebut seringkali tidak sangat jelas maknanya. Ciri lain dari Etnografi Awam adalah deskripsinya yang datar. Artinya di situ umumnya tidak terdapat analisa ataupun kesimpulan tertentu dari si penulis mengenai apa yang ditulisnya. Tujuan penulisan biasanya adalah benar-benar sekedar menyampaikan berita. Tidak ada maksud untuk menjelaskan fenomena yang ditulis. Oleh karena itu, judul-judul etnografi semacam ini biasanya dibuat "menarik perhatian" dengan menggunakan kata-kata yang tidak biasa, yang dianggap akan lebih membangkitkan minat pembaca untuk mengetahui isi tulisan tersebut lebih lanjut, bukan hanya membaca judulnya saja.
b. Etnografi Laci
Predikat ini dapat diberikan pada berbagai tulisan para ahli antropologi yang terdapat dalam buku-buku yang diedit oleh Koentjaraningrat, seperti misalnya "Kebudayaan Jawa” oleh Kodiran, "Kebudayaan Bugis-Makassar" oleh Mattulada, "Kebudayaan Batak" oleh Payung Bangun, dan sebagainya, yang terdapat dalam buku Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Juga berbagai tulisan ilmuwan Indonesia yang ada dalam Masyarakat Desa di Indonesia, seperti misalnya artikel dari Budisantosa tentang masyarakat desa Celepar, tulisan Harsya W. Bachtiar tentang masyarakat desa di Sumatera Barat, dan berbagai tulisan lain dalam Penduduk Irian Barat, serta tulisan para ahli antropologi dari generasi yang lebih muda yang dimuat dalam Masyarakat Terasing di Indonesia. Berbagai tulisan dalam buku ini sebagian besar memang "hanya" berisi pelukisan tentang apa yang dimaksud sebagai "kebudayaan" dari suku-suku bangsa yang ditulis di situ.
Etnografi Laci semacam ini berbeda dengan etnografi Awam terutama dalam susunan dan retorikanya. Etnografi Laci pada umumnya sudah lebih sistematis, dalam arti uraian mengenai masyarakat atau kebudayaan diberikan dengan mengikuti urutan tertentu yang telah ditentukan. Umumnya urutan ini didasarkan pada pandangan mengenai unsur-unsur kebudayaan yang universal, seperti bahasa, mata pencaharian, organisasi sosial, kesenian, agama dan sebagainya. Judul-judul unsur kebudayaan ini menjadi semacam laci tempat si penulis memasukkan berbagai informasi etnografi yang didapatnya dari pengalamannya di lapangan. Tulisan-tulisan tentang kebudayaan suku-sukubangsa di Indonesia dalam buku Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Masyarakat Desa di Indonesia, Penduduk Irian Barat, Masyarakat Terasing di Indonesia, serta Kebudayaan Jawa, yang diedit dan ditulis oleh Koentjaraningrat sangat jelas menunjukkan ciri ini.
Etnografi Laci umumnya sudah lebih “ilmiah” atau “antropologis”. Artinya, dalam etnografi semacam ini kita akan menemukan banyak konsep-konsep analitis yang penting dalam antropologi, yang tidak kita temui dalam Etnografi Awam; sesuatu yang memang dituntut oleh tulisan-tulisan yang diinginkan bersifat “ilmiah” dan ditujukan pada publik yang lebih terbatas, yakni mereka yang ingin mengetahui, memahami dan dapat menjelaskan fenomena sosial budaya, serta ingin memahami kehidupan dan dinamika masyarakat dan kebudayaan di Indonesia. Dalam Etnografi Laci ini akan sering kita temui pendefinisian beberapa konsep yang dipandang penting, dengan maksud untuk mencegah simpang-siurnya pendapat yang tidak perlu antara penulis dengan pembaca.
c. Etnografi Analitis
Etnografi semacam ini memusatkan perhatian pada satu fenomena sosial-budaya tertentu, entah itu fenomena politik, kekerabatan, organisasi sosial, agama ataupun yang lain. Jadi salah satu ciri penting yang membedakan Etnografi Analitis dengan dua jenis etnografi sebelumnya adalah fokus yang dimilikinya. Buku Singarimbun (1975) misalnya memusatkan perhatian pada sistem kekerabatan orang Batak Karo, sedang buku Sairin (1982) memberikan perhatian khusus pada organisasi kekerabatan orang Jawa. Buku Laksono membahas struktur sosial masyarakat Jawa dan tradisi yang hidup di dalamnya; buku Triyoga (1991) memperhatikan sistem kepercayaan orang Jawa tentang Gunung Merapi, sedang buku Pranowo (1985) lebih memperhatikan adaptasi ekologi masyarakat pedesaan di lereng Merapi. Ini semua berbeda dengan buku Ahimsa-Putra (1986), yang membahas hubungan minawang (patron-klien) di kawasan Sulawesi Selatan, terutama di kalangan orang Bugis-Makasar, dan kondisi yang mendukungnya, ataupun buku Dhofier (1982) yang mengulas tradisi dan jaringan kekerabatan para kyai di dunia pesantren Jawa.
Dalam pemaparannya penulis Etnografi Analitis ternyata tidak berbeda dengan penulis Etnografi Laci, yakni sama-sama mengambil jarak dengan obyek dan subyek penelitian. Penulis etnografi di situ masih menempatkan dirinya sebagai pengamat atau peneliti, yang harus menjaga jarak dengan apa yang ditelitinya, seperti dalam ilmu eksak. Dalam Etnografi Analitis masih belum kita temukan dialog-dialog antara peneliti dengan informan. Oleh karena analisis ditujukan pada gejala sosial-budaya, maka dengan sendirinya yang tampil dalam etnografi adalah berbagai macam abstraksi. Berbagai data hasil pengamatan dan wawancara dengan para informan dirangkum dalam satu uraian, yang merupakan abstraksi dari berbagai hal yang didapat oleh penulis etnografi dari penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan. Keterangan-keterangan yang langsung berasal dari informan umumnya tidak tampak, dan kalau ditampilkan masih dalam kerangka untuk mendukung argumentasi yang diajukan.
Etnografi Analitis ini biasanya juga ditulis berawal dari sebuah permasalahan tertentu, yang kemudian dicari jawabnya melalui suatu penelitian, baik lapangan maupun kepustakaan. Berbagai informasi etnografis yang diperoleh kemudian disusun sedemikian rupa untuk menjawab masalah yang dikemukakan, sehingga Etnografi Analitis ini juga memiliki karakter sistematis, teratur, dan mempunyai alur pemikiran yang jelas. Data etnografi yang berhasil dihimpun dari berbagai sumber ditempatkan dalam posisi-posisi tertentu untuk mendukung argumentasi. Pada umumnya etnografi semacam ini berupaya untuk menampilkan keterkaitan antara unsur budaya satu dengan yang lain, dengan permasalahan pokok sebagai pusatnya atau tali pengikatnya.
Adanya masalah yang ingin dijawab dalam Etnografi Analitis ini menuntut pula adanya suatu perspektif tertentu untuk menjawabnya, sehingga etnografi semacam ini pada umumnya juga memiliki kerangka teori yang lebih eksplisit. Kerangka teori ini berfungsi membimbing si penulis etnografi mengorganisir datanya sedemikian rupa, dan menjadi alat pembenaran etnografi tersebut untuk memperoleh status ilmiahnya. Hadirnya kerangka teori di situ berarti pula hadirnya berbagai konsep antropologis dengan definisi-definisi yang eksplisit. Kalau Etnografi Awam dan Etnografi Laci terasa datar dan tidak argumentatif, Etnografi Analitis adalah sebaliknya.
Etnografi Analitis biasanya bersifat argumentatif , karena ditujukan untuk memperluas wawasan pengetahuan dan membuka dimensi-dimensi pemikiran yang baru dan dianggap lebih dalam daripada yang sudah ada. Untuk menguatkan kesan semacam ini, maka Etnografi Analitis seringkali diisi dengan kritik terhadap pandangan-pandangan yang lama. Dengan begitu penulis dapat menempatkan pandangannya dalam konteks tertentu, yang sekaligus juga menunjukkan kelebihan dan perbedaan perspektif yang digunakannya. Etnografi Analitis, sesuai dengan cirinya, juga dimaksudkan untuk melontarkan pandangan-pandangan baru, bukan hanya yang informatif, tetapi juga yang eksplanatif (menjelaskan) dan interpretif (menafsirkan). Dengan adanya masalah yang jelas dalam penulisan etnografi ini, maka pada akhirnya juga ada jawaban atau tesis yang lebih eksplisit dalam Etnografi-etnografi Analitis ini, yang turut menentukan “nilai ilmiah” etnografi tersebut di mata para ahli antropologi. Tesis ini bisa berupa pandangan baru, yang berbeda dengan pandangan yang telah ada sebelumnya, tetapi tidak berlawanan, sehingga bersifat memperluas cakrawala pemikiran pembaca, bisa pula berupa pandangan baru yang membantah berbagai pendapat yang sebelumnya telah ada. Etnografi Analitis yang berupaya membantah pandangan yang lama misalnya adalah etnografi kekerabatan orang Batak Karo dari Singarimbun (1975), dan etnografi patron-klien di Sulawesi Selatan dari Ahimsa-Putra (1986), sedang Etnografi Analitis yang berupaya membuka cakrawala baru adalah etnografi-etnografi dari Danandjaja (1985), Laksono (1985a), Sairin (1982), Triyoga (1991), dan Pranowo (1985). Etnografi Analitis –sadar atau tidak—ditujukan terutama untuk membangun sebuah “gedung” ilmu pengetahuan yang teratur, sistematis, dan logis.
Suatu perbedaan lain yang penting antara Etnografi Analitis dengan dua jenis etnografi sebelumnya adalah kerangka teorinya. Kalau Etnografi Awam umumnya boleh dikatakan “tidak teoritis” dan “tidak antropologis”; Etnografi Laci berawal dari kerangka berfikir yang komparatif, dengan model kebudayaan yang sistemik dan fungsionalistis, maka Etnografi Analitis lebih bervariasi kerangka teori dan konsep-konsepnya, sehingga tidak ada satu kerangka teori yang diikuti oleh semua atau sebagian besar penulis etnografi. Masing-masing ahli antropologi memusatkan perhatian pada masalah yang berlainan dengan kerangka teori yang berlainan pula, walaupun kadang-kadang ada persamaan di sana-sini. Misalnya saja, meskipun analisis Sjafri Sairin berangkat dari kerangka berfikir yang fungsionalistis, namun pembahasan dan kesimpulannya berbeda dengan Ahimsa-Putra yang juga menggunakan kerangka pemikiran fungsionalistis. Sjafri Sairin lebih memperhatikan fungsi sosial organisasi kekerabatan orang Jawa, sedang Ahimsa-Putra lebih memperhatikan hubungan fungsional antara fenomena patron-klien dengan gejala-gejala lain dalam masyarakat Sulawesi Selatan. Implikasi lebih lanjut dari perbedaan masalah dan orientasi teoritis tersebut adalah judul dan cara penulisan yang lebih bervariasi.
Selain itu, penulis Etnografi Analitis pada umumnya juga tidak bermaksud untuk melakukan suatu rekonstruksi kebudayaan. Mereka tampaknya tidak tertarik untuk menulis apa yang disebut sebagai “Kebudayaan Sukubangsa Tertentu”. Oleh karena itu penulis Etnografi Analitis kurang tampak sebagai “pencipta kebudayaan” atau “tukang rekonstruksi kebudayaan”. Mereka lebih tampak sebagai analyst atau interpreter, yang mencoba “memahami” suatu gejala sosial tertentu dengan menempatkannya dalam suatu konteks yang lebih luas. Keberadaan Etnografi Analitis inilah yang membuat warna penulisan etnografi di Indonesia menjadi lebih menarik. Etnografi Analitis tersebut sekaligus juga mencerminkan tingkat kreativitas ahli antropologi di Indonesia serta perkembangan wawasan pemikiran analitis mereka.
Daftar Pustaka
- Bereman, G. D., 1968, Etnography : Method and Products Introduction to Cultural Antropology, J.A. Clitun, editor. Buston, Hungton Miflin Company, hlm. 337-373
- Koentjaraningrat, 1990. “Pengantar Ilmu Antropologi””, PT Rineka Cip
0 komentar:
Posting Komentar